Bahasa Daerah Dialek Pelembang sebagai Identitas
Tamadun
Daerah Sumatera Selatan
Identitas suatu bangsa, tercermin dari dialek bahasa
dan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakatnya. Bahasa dan kebudayaan menjadi
kunci gerbang, pembentukan tamadun yang berkualitas. Tamadun dijadikan suatu cerminan dan
pembinaan bagi pembentukan etika, moral, budaya, nilai, sosial, dasar agama dan
sebagainya. Suatu bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang hebat, merupakan bangsa
yang dapat menjaga identitas moral melalui tutur bahasa. Sejarah telah mencatat,
keagungan tamadun bangsa dilihat dari corak kepribadian dan kehebatan bahasa
yang tercermin di dalamnya. Keagungan peradaban pada zaman dahulu, dikarenakan tamadun
dan bahasa dijadikan pegangan serta jawaban dalam mengatasi permasalahan kenegaraan.
Sebuah bahasa, dapat dijadikan
simbol pemersatu dalam penyampaian gagasan dan pendapat. Abdullah (2004: 1)
dalam makalah seminar bahasa dan sastra dengan judul “Penjanaan Kreativiti
Bangsa Melalui Bahasa” memaparkan bahwa, bahasa mempunyai keterkaitan dengan
budaya dan sukar untuk dipisahkan dengan budaya suatu bangsa. Dikarenakan
bahasa merupakan bagian penting dari suatu kebudayaan. Bahasa dalam hal ini
bahasa daerah, dijadikan kesatupaduan dan pegangan dalam menjalankan roda
pemerintahan, maupun segala aspek kemasyarakatan, termasuk kebudayaan.
Diperkirakan terdapat lebih dari ribuan
bahasa daerah di Indonesia, yang tersebar dari Sabang sampai Marauke. Data
tersebut, belum termasuk bahasa-bahasa yang belum diketahui secara pasti. Dari
kesemua bahasa daerah tersebutyang ada, bahasa Palembang menjadi salah satunya.
Bahasa Palembang dianggap sebagai salah satu bahasa yang hidup dan berkembang
jauh, sejalan dengan sejarah perkembangan bangsa Indonesia. Bahasa Pelembang
hidup dan dipakai oleh masyarakat khususnya di Sumatera Selatan untuk dijadikan
ungkapan pikiran dan perasaan, yang di dalamnya tercermin pula kebudayaan
daerah.
Pada dasarnya, bahasa daerah yang
terdapat di Sumatera Selatan terbagi menjadi beberapa dialek, dengan tingkat
pengucapan yang berbeda-beda. Sehingga dalam hal ini, bahasa Pelembang
dijadikan alat pemersatu masyarakat di Sumatera Selatan. Masyarakat Sumatera
Selatan secara langsung atau tidak, lebih menyukai menggunakan bahasa Palembang
untuk berkomunikasi dan mengungkapkan rasa kekeluargaan diantara mereka,
terutama dalam berkomunikasi lisan intraetnis yang bersifat informal. Walaupun,
tidak diketahui siapa yang menjadikan bahasa Palembang sebagai alat pemersatu
suku atau etnis di Sumatera Selatan sebelumnya.
Kemahiran masyarakat suatu etnis, dalam
menggunakan bahasa daerah dapat menunjukan semakin berintegritas kebudayaannya.
Melalui bahasa daerah, tercermin berbagaimacam filosofi nilai murni sebagai
asas jati diri masyarakat berbudaya. Banyak budaya-budaya yang tercermin dari
tradisi, permainan, tuturan, ungkapan yang tercermin melalui bahasa. Sehingga
bahasa, dijadikan prioritas utama dalam menjalankan semua unsur-unsur
kebudayaan. Keagungan bahasa daerah dalam kehidupan masyarakat, merupakan
fenomena bersifat universal yang dimiliki oleh setiap masyarakat, sehingga
menjadi cermin keperibadian daerah tersebut.
A.
Bahasa Daerah Dialek Palembang: Mengenal Salah Satu
Identitas Daerah
Bahasa memegang peran penting dalam kehidupan
bermasyarakat. Segala proses komunikasi, tidak terlepas dari proses berbahasa. Dikatakan
bahwa bahasa merupakan suatu sistem bunyi yang disepakati untuk digunakan
masyarakat dalam berkomunikasi (Yusmono, 2003: 3; Hasan, 2001: 88; Chaer, 2009:
30). Sehingga dalam bentuk pemahamannya, bahasa berusaha menjelaskan akan
pemakaian bahasa yang berbeda pada konteks dan fungsi sosial, dalam usaha
menyampaikan pesan sosial tersebut. Bahasa dianggap sebagai suatu alat, yang dapat
digunakan oleh sekelompok orang untuk proses berkomunikasi, bekerjasama, maupun
mengidentifikasikan diri.
Bahasa daerah, dikenal sebagai salah satu bagian
dari kebudayaan yang pertama kali berinteraksi dengan manusia. Berupa bahasa
yang pertama kali dicuapkan oleh seorang, untuk berkomunikasi dalam interaksi
lokalnya. Selaras dengan itu Arif, dkk (1981: 12) mengatakan bahwa, bahasa
Palembang berstatus sebagai bahasa daerah, yang dituturkan oleh masyarakat
Palembang atau penduduk Sumatera Selatan itu sendiri. Bahasa Palembang memiliki
eksistensi tersendiri, di tengah lingkup masyarakat Indonesia. Bertapa tidak,
hampir sebagian besar masyarakat Indonesia mengetahui ciri khas pelafalan
bahasa wong kito galo ini. Hal ini
terjadi, dikarenakan masyarakat Palembang sangat menghargai kearifan bahasa
lokal yang mereka miliki. Sehingga benar-benar mengakar dalam kehidupan masyarakatnya.
Pada umumnya bahasa Palembang terbagi menjadi dua
tingkatan. Pertama bahasa Palembang halus (bebaso)
dan bahasa Palembang sehari-hari (bahasa pasar). Bahasa Palembang halus biasa
dipakai apabila berbicara dengan orang tua, pemuka-pemuka masyarakat, acara-acara
adat, dan biasa dipakai oleh anggota kesultanan Palembang Darussalam.
Sedangkan, bahasa Palembang pasar biasa dipakai apabila berbicara dengan
orang-orang seumur atau yang lebih mudah usianya daripada penutur. Sehingga
bahasa Palembang, dalam konteks pelafalannya dapat dijadikan pencermin
identitas pemakainnya (http://id.wikipedia.org/wiki/).
Bahasa Palembang, sudah menjadi bagian dalam
kehidupan pergaulan sehari-hari masyarakatnya. Dimanapun dan kapanpun
masyarakat Palembang menjadikan bahasa daerah, sebagai prioritas utama dalam segala
proses kegiatan. Bahkan dikalangan masyarkat bawah, dan pusat-pusat perbelanjaan
moderen. Bahasa Palembang dijadikan bahasa utama dalam berinteraksi, yang
dilakukan oleh penjual kepada pembeli tanpa memperdulikan latar belakang
pembeli, baik etnis asli Palembang atau pendatang. Kebiasaan yang dilakukan
oleh masyarakat Palembang inilah, yang menjadikan bahasa Palembang menjadi
salah satu bahasa daerah yang mudah dikenal oleh masyarakat Indonesia.
Walaupun persepsi yang berkembang dalam masyarakat
menganggap, bahasa Palembang merupakan bagian dari bahasa Padang dengan dialek
Minangkabaunya. Namun, sebenarnya persepsi tersebut sangatlah berbeda.
Penggunaan bahasa Palembang dalam kebiasaan mendengar dan keinginan untuk
memahami, membuat masyarakat pendatang berbondong-bondong mempelajari bahasa
Palembang. Fenomena ini menekankan, bahwa suatu kebiasaan yang secara tidak
terencana telah diterapkan kepada masyarakat pendatang dalam arti pengenalan
salah satu budaya Sumatera Selatan, dalam hal ini ialah bahasa Palembang itu
sendiri.
Penggunaan bahasa Palembang, disamping penggunaan
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional merupakan hal yang lumrah dalam
kehidupan bermasyarakat. Penggunaan bahasa Indonesia, umumnya dipakai pada proses komunikasi agar
pesan yang dicoba disampaikan dapat diterima oleh semua etnis yang berbeda
disuatu daerah. Sedangkan, masyarakat Palembang menggunakan bahasa daerah
sebagai alat komunikasi, agar dapat merasakan keakraban dan rasa kekeluargaan,
menimbulkan rasa saling menghormati, dan
saling menghargai, disamping menimbulkan rasa nostalgia diantara penuturnya.
B.
Bahasa Palembang dan Kebudayaan; Sebuah Kemahiran
Pemakaian Bahasa
Pemakaian bahasa tercermin dari segala bentuk
aktivitas kebudayaan di dalamnya. Banyak kebudayaan yang memanfaatkan bahasa
sebagai alat ekspresi, termasuk kebudayaan di Sumatera Selatan. Umumnya
pengaplikasian bahasa dalam kebudayaan daerah, tercermin dari bentuk kesenian
maupun kegiatan yang membutuhkan interaksi suara, gerak dan bahasa. Serangkaian
kesenian Palembang yang melibatkan interaksi bahasa daerah, tercermin dalam
upacara-upacara adat seperti adat perkawinan, kesenian dul muluk, sastra rakyat
berupa tutur, pantun, peribahasa, teka-teki dan sebagainya. Kesemuannya
membutuhkan bantuan bahasa, sebagai pendukung berjalannya suatu kebudayaan. Sebagian
contoh pengaplikasian bahasa Palembang, dalam kebudayaan Sumatera Selatan
dipaparkan pada bagian-bagian berikut :
1.
upacara pernikahan adat Palembang
Menurut Suryana (2008: 22-28) dalam rangkaian
tradisi pernikahan etnis melayu Palembang terdiri dari beberapa tahap,
diantaranya : 1) madik yaitu proses
menyelidiki calon menantu, meliputi tingkah laku, kecantikan dan keturunannya,
2) menyenggung yaitu penegasan
pernyataan keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan, 3) meminang yaitu proses lanjutan dari madik dan menyenggung berupa kegiatan lamaran, 4) berasan yaitu bagian dari meminang
untuk bermusyawarah tentang kelanjutan selanjutnya, 5) mutus kato atau mutusi rasan yaitu
membuat rembukan untuk membuat keputusan tanggal dan hari apa pernikahan akan
dilaksanakan.
Keterkaitan bahasa daerah dari tahap-tahap di atas,
terlihat pada tahap meminang. Pada
tahap ini, terlihat secara nyata penggunaan bahasa Palembang sebagai proses
interaksi dan komunikasi. Adapun utusan dalam proses meminang biasanya terdiri dari sekurang-kurangnya lima orang, salah
seorang dari mereka bertindak sebagai juru bicara. Selanjutnya terjadilah
proses komunikasi antara dua belah pihak, untuk membicarakan tanggal, hari,
bulan, waktu kedatangan kembali keluarga mempelai laki-laki untuk mengetahui apakah
lamaran yang diajukan diterima atau ditolak. Jika orang tua mempelai perempuan
menerima, biasanya pihak laki-laki menanyakan proses adat penikahan siapa yang
akan dipakai nantinya.
2.
kesenian dul muluk
Menurut
Darisandi mengatakan bahwa kesenian Dul Muluk merupakan sebuah teater rakyat
asli dari Sumatera Selatan. Menurut cerita, kesenian ini dibawa langsung oleh
Raja Ali Haji dari kepulauan Riau semasa singah di Palembang. Pada dasarnya,
Dul Muluk hampir memiliki kemiripan dengan kesenian Lenong di Jakarta. Hanya
saja terdapat perbedaan dari sisi pementasannya. Perbedaannya terletak pada
pembacaan syair kemudian disertai dengan peragaan oleh beberapa orang dengan
diiringi musik tradisional Melayu (http://budaya-indonesia.org).
Pada kesenian
ini, terdapat juga pengaplikasian bahasa Palembang. Terlihat pada dialog
percakapan, yang dilakonkan oleh para pemain, syair, lagu-lagu Melayu maupun
lawakan yang biasa disebut khadam.
Interaksi dan pemakaian bahasa Palembang, tidak hanya terjadi antar pemain
saja. Akan tetapi, dapat juga melibatkan percakapan dengan para penonton dul muluk.
Interaksi tersebut berbentuk kegiatan saling membalas argumen, ataupun sekedar
sapaan dan menjawab salam dari para pemain dul muluk.
3.
kesenian sastra lisan Sumatera Selatan
Sastra lisan memiliki
ketergantungan besar terhadap penggunaan bahasa Palembang. Sastra lisan dalam
kehidupan masyarakat Palembang, dijadikan alat untuk menghibur diri dari segala
rutinitas pekerjaan. Disamping itu, sastra lisan digunakan orang tua sebagai
media pembelajaran dan penyampaian nilai-nilai agama, sosial maupun moral
kepada anak-anaknya. Pada upacara pernikahan, kelahiran, maupun kegiatan
lainnya. Sering orang berjaga-jaga pada malam hari, dan pada waktu tersebutlah masyarakat
bercerita dengan berbagai macam cerita rakyat, pribahasa, pantun, syair yang
sifatnya lucu-lucu dalam bahasa Palembang kepada anak dan cucu mereka.
Berikut salah satu
sastra lisan yang memiliki ciri khas bahasa Palembang, diantaranya :
a). pantun
bahasa Palembang pasar
Tebudi bentok
tebudi raso Tertipu
bentuk tertipu rasa
Beli cempedak ternyate nangko Beli
cempedak ternyata nangka
Petuah agamo jangan lupo Petuah
agama jangan lupa
Kalu dak galak nyampak ke Nerako Jika
tidak ingin jatuh ke neraka
b). pribahasa asli
Palembang
Idak mati ulo nyosok akar
Tidak akan mati ular
masuk ke bawah akar
artinya :
dalam kehidupan setiap
orang harus bisa menyesuaikan diri, tidak merasa diri lebih hebat dan lebih
bisa daripada orang lain. Sehingga manusia harus mampu memanfaatkan segala
potensi dengan berusaha, dan diikuti dengan bertawakal pada Allah. Sehingga
selamat dan berhasil mencapai tujuan tersebut.
c).
Syair Palembang (Syair Sultan Mahmud
Badaruddin)
Sultan
Mahmud Badaruddin yang punyo negeri
Detanglah
Musoh idak beperi
Dengan
takdir Tuhan yang qohari
Pidehlah
dio ke negeri laen
Dari
Pelembang ke Ternati
Diemlah
disano bebuet budi
Kalu
iman kurang terti
Rusaklah
awak jugo ari
Rusak
awak mak itu jugo
Kareno
beperang dengen kapir celako
Niscayo
menang pulo Sri Paduko
Sultan Mahmud Badaruddin yang punya
negeri
Datanglah musuh tidak berperi
Dengan takdir Tuhan yang qohari
Pindahlah ia ke lain negeri
Dari Palembang ke Ternati
Diamlah disana berbuat bakti
Jikalau iman kurang mengerti
Rusaklah badan serta hari
Rusak badan pada itu ketika
Karena berperang dengan kapir celaka
Tetapi jikalau tidak didaulat belaka
Niscaya menang pula Sri Paduka
melalui syair di atas, syair ini mencoba menyampaikan sebuah
cerita akan kondisi pada waktu perlawanan Sri Paduka Susuhunan Ratu Mahmud
Badaruddin (Sultan Mahmud Badaruddin II) ketika melawan penjajah Belanda, yang
dipimpin oleh Letnan Jendral Baron de Kock. Sehingga Sri Paduka beserta
keluarga dan para karabatnya keluar Negeri Palembang Darussalam dan diasingkan
ke Ternate (http://sultanpalembang.com).
Umumnya, sastra lisan
yang diceritakan bukanlah sastra lisan yang tidak memiliki makna. Bahasa daerah
yang disampaikan memiliki nilai kemanusiaan tersendiri, sehingga dijadikan
pedoman bagi kehidupan. Secara sekilas, penggunaan bahasa daerah pada sastra
lisan di atas, mencoba memberikan kegembiraan, peringatan, petuah agama, dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Sehingga, secara
tidak langsung penggunaan bahasa daerah menjadi suatu kesenian yang sangat
pengaruh bagi masyarakat Palembang.
C.
Bahasa Palembang Simbol Keagungan Tamadun Daerah;
Tercermin Nilai Budi Pekerti dan Aspek Moral di Dalamnya
Keagungan
tamadun, menjadi suatu yang beharga dalam kehidupan masyarakat Malayu. Betapa
tidak, tamadun menjadi simbol kegemilangan dan perkembangan suatu bangsa.
Sebuah tamadun tidak hanya menyangkut aspek meterial, yang dimiliki oleh
bangsanya. Akan tetapi, tamadun menjadi bagian dari perkembangan aspek moral
dan menunjukan potensi suatu bangsa atau daerah. Tamadun didefinisikan sebagai
kehidupan suatu masyarakat beradab, berkemajuan dan berkebudayaan (Al-Attas, 1972:
10; Hasan, 2001: 1128). Sehingga dalam bentuk pemahamannya, tamadun berada pada
tingkat lebih tinggi dari segala unsur-unsur keduniawian, dan telah dikatakan
telah mencapai tingkat kebudayaan yang luhur dalam masyarakat.
Tamadun
dianggap sebagai peradaban atau kebudayaan, yang merunjuk pada sikap dan
tingkah laku yang baik (Iskandar. 1970: 1169; Shuid dan Saliza, 2002: 3).
Tamadun dianggap sebagai peradaban yang memiliki tingkatan yang lebih tinggi
daripada budaya atau tradisi. Keduanya menganggap bahwa tamadun mengarah pada
prilaku yang membentuk proses disiplin yang baik, cara hidup, adab tingkah laku
dan mengarah pada pemikiran yang dianggap sesuai dengan kepribadian
masyarakatnya. Pada hakikatnya, nilai-nilai tingkah laku, budi pekerti
tercermin dari penggunaan bahasa daerah.
Terdapat
banyak sekali filosofi yang baik, terangkum dalam tutur kata yang disampaikan
penggunannya. Sehingga tamadun dalam
bahasa daerah, mencoba menggabungkan aspek keluhuran budi bahasa, dan
ketinggian akal pikir manusia dalam mengimbangi kekayaan meterial maupun sosial,
yang dimiliki oleh masyarakatnya. Sehingga bahasa daerah dalam hal ini bahasa
Palembang, dapat dijadikan sebuah lambang suatu etnis dan identitas tamadun
daerah yang sangat menghargai budayanya.
Hampir
sama dengan kedudukan bahasa Indonesia, yang mencerminkan kepribadian dan jati
diri suatu bangsa. Bahasa Palembang, juga memiliki peran yang sama dalam
membentuk kestabilitas antar etnis di Sumatera Selatan, diantranya :
1.
sebagai alat berkomunikasi sosial intraetnis atau antaretnis
Pada proses penggunaan bahasa dalam berkomunikasi,
berarti penutur memiliki tujuan agar pada pendengar memperoleh apa yang
diinginkan dari proses berkomunikasi. Sehingga penggunaan bahasa, dapat
dikatakan kumunikatif karena bersifat umum. Hal ini juga tercermin dalam
penggunaan bahasa daerah, yang tidak hanya menganggap bahasa sebagai alat untuk
berkomunikasi. Akan tetapi, bahasa daerah dijadikan alat untuk pengakraban diri
dengan orang lain. Sebagai contoh, di provinsi Sumatera Selatan terdapat lebih
dari 15 kabupaten dan tiap kabupaten memiliki ciri khas dalam pelafalan bahasanya.
Untuk menghadapi hal tersebut, masyarakat Sumatera Selatan akan menggunakan
bahasa Palembang sebagai pemersatu dan alat komunikasinya.
2.
bahasa daerah sebagai alat beradaptasi diri
Pada dasarnya, bahasa untuk berinteraksi dengan
lingkungan. Seseorang akan menggunakan bahasa tergantung situasi dan kondisi
yang dihadapi. Termasuk menggunakan bahasa daerah, ketika bertemu dengan
seseorang yang berasal dari daerah yang sama. Melalui penggunaan bahasa yang
sama, seseorang akan menganggap orang lain seperti saudaranya sendiri, walaupun
belum pernah bertemu sebelumnya. Sebagai contoh, mahasiswa yang tinggal di perantauan
ketika bertemu dengan seorang yang berasal dari provinsi yang sama. Akan secara
spontan menggunakan bahasa Palembang, untuk berinteraksi. Walaupun, mereka
berasal dari etnis suku yang berbeda, dan bahasa yang digunakan tiap etnispun
berbeda satu sama lain.
3.
bahasa daerah mewujudkan kreativitas seni dan sastra
Pemakaian bahasa
daerah, oleh penutur aslinya secara tidak langsung mengarah pada pembentukan
dan terciptanya karya seni dan sastra daerah. Tekadang penggunaan bahasa yang
dipakai oleh orang pada zaman dahulu, memiliki itonasi dan syarat akan makna.
Sehingga diperlukan perhatian yang mendalam, untuk memahami makna yang
terkandung di dalamnya. Sebagai contoh, kebiasaan masyarakat Sumatera Selatan
terutama orang tua, selalu menceritakan kisah-kisah, cerita, pribahasa, syair ataupun
petuah kepada anak-anak atau cucu-cucu mereka. Kegiatan penceritaan ini, biasanya
dilakukan di gerang (tempat istrihat
di bawah atau di depan rumah panggung) baik diceritakan secara langsung dengan
kesenian tutur, atau menggunakan alat musik gitar. Dari kebiasaan penggunaan
bahasa daerah inilah, secara tidak sadar mempengaruhi terciptanya seni dan
sastra daerah yang baru, berisi nasihat akan agama, adat, pernikahan, maupun
petuah hidup.
Berdasakan pemaparan
tersebut, maka dapat diketahui bahwa bahasa Palembang memiliki dan mengambil
bagian penting dalam terciptanya tamadun suatu daerah. Nilai-nilai tamadun
seperti budi pekerti, nilai sosial, etika, seni dan sebagainya tercermin dalam
penggunaan bahasa oleh penuturnya. Keagungan tamadun suatu daerah, merupakan
tamadun yang mampu bertahan dan berkembang dengan diikuti aspek budi pekerti
dan aspek moral yang tercermin dalam
bahasanya, sehingga rasa kemanusiaan yang saling menghargai budaya akan
tercipta dan tidak dapat disanggah oleh kemajuan globalisasi maupun moderenisasi.
Daftar Pustaka
Abdullah, Haji Azmi. 2004. “Pengajaran
Kreativiti Bangsa Melalui Bahasa”. Makalah disajikan dalam Seminar Bahasa dan Sastera, pada 6 – 13 Maret 2004 di Menara Dewan
Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur.
Al-Attas,
Syeh Mohd Naquib. 1972. Islam dalam
Sejarab Kebudayaan Malayu. Kuala Lumpur: Universitas Kebangsaan Malaysia.
Arif,
dkk. 1981. Kedudukan dan Fungsi Bahasa
Palembang. Jakarta: Pusat Pembinaan Pendidikan dan Kebudayaan.
Chaer,
Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian
Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta.
Hasan, Alwi.
2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia:Cetakan
Pertama Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Iskandar,
Teuku. 1970. Kamus Dewan. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Shuid,
Mahdi dan Saliza Saad. 2002. Tamadun
Dunia. Petaling Jaya: Pearson Malaysia.
Suryana.
2008. “Upacara Adat Perkawinan Palembang”. Skripsi
S1. Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Isalam, Fakultas Adab, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Yuwono, Untung, dkk. 2009.
Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.