Peran Sastra dalam Pembentukan Karakter Bangsa
Oleh: Prof. Dr. Haryadi, M.Pd.
A. Pendahuluan
Kondisi masyarakat dewasa ini sangat
memprihatinkan. Perkelahian, pembunuhan, kesenjangan sosial, ketidakadilan,
perampokan, korupsi, pelecehan seksual, penipuan, fitnah terjadi di mana-mana. Hal
itu dapat diketahui lewat berbagai media cetak atau elektronik, seperti surat
kabar, televisi atau internet.
Bahkan, tidak jarang kondisi seperti itu
dapat disaksikan secara langsung di tengah masyarakat.
Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang
demikian itu, menumbuhkan semangat untuk mengkaji sebab musababnya dan mencari
pemecahannya. Penelitian dan seminar mengenai masalah itu telah berkali-kali
yang diselenggarakan oleh berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta.
Ujungnya adalah persamaaan persepsi terhadap
pentingnya menggalakkan
pendidikan karakter.
Respon masyarakat terhadap pendidikan karakter
berbeda-beda. Di kalangan kelompok pendidik
muncul pendapat tentang perlunya pendidikan budi pekerti, sedangkan agamawan memandang perlunya penguatan pendidikan agama. Mereka yang
berkecimpung di bidang politik mengusulkan revitalisasi pendidikan
Pancasila. Dalam hal ini, Kemendiknas
telah merespon berbagai pendapat itu dengan membentuk Tim Pengembang Pendidikan
Karakter.
Selanjutnya, para guru tertutama guru bahasa dan
sastra Indonesia sebagai ujung tombak pendidikan di Indonesia ingin
menyumbangkan pemikiran tentang ”Peran Sastra dalam Pembentukan Bangsa
Karakter”. Topik ini memunculkan permasalahan (1) Apakah pendidikan karakter
itu?; (2) Bagaimana menanamkan pendidikan karakter di kalangan anak didik?; (3)
Adakah relevansi antara sastra dan pendidikan karakter?; (4) Bagaimana
memberdayakan sastra dalam pembentukan karakter bangsa ?.
B. Pembahasan
1. Apakah
pendidikan karakter itu?
Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak,
atau budi pekerti. Karakter dapat diartikan sebagai tabiat, yaitu perangai atau
perbuatan yang selalu dilakukan atau kebiasaan. Suyanto (2009) mendefinisikan
karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap
individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat,
bangsa, maupun negara. Pritchard (1988: 467) mendefisikan karakter sebagai sesuatu
yang berkaitan dengan kebiasaan hidup individu yang bersifat menetap dan
cenderung positif.
Karakter sebagai akhlak dapat bersifat positif
atau negatif. Dalam pandangan agama terdapat akhlakul karimah (ahlak yang
mulia) dan akhlakul madmumah (akhlak tercela).
Dalam akhlakul karimah tercakup 22 sifat terpuji, yaitu (1) sederhana,
(2) rendah hati, (3) giat bekerja, (4) jujur, (5) memenuhi janji, (6)
terpercaya, (7) konsisten/istiqomah, (8) berkemauan keras, (9) suka berterima
kasih, (10) satria, (11) tabah, (12) lemah lembut, (13) ramah dan simpatik,
(14) malu, (15) bersaudara, (16) belas kasih, (17) suka menolong, (18) menjaga
kehormatan, (19) menjauhi syubhat, (20) pasrah kepada Allah, (21) berkorban
untuk orang lain, (22) payayang.
Sementara itu, lawan dari
sifat-sifat terpuni itu termasuk akhlakul madmumah, seperti boros, sombong,
malas.
Menurut Zulhan (2010: 2-5) karakter ada dua yaitu
karakter positif baik (sehat) dan karakter buruk (tidak sehat). Tergolong
karakter sehat yaitu (1) afiliasi tinggi:
mudah menerima orang lain sebagai sahabat, toleran, mudah berkerja sama, (2) power tinggi: cenderung menguasai
teman-temannya dalam arti positif (pemimpin); (3) achieve: selalu termotivasi untuk berprestasi (4) asserte: lugas, tegas, tidak banyak bicara,
(5) adventure: suka petualangan, suka mencoba hal baru. Sementara itu, karakter
kurang sehat yaitu (1) nakal: suka membuat ulah, memancing kemarahan, (2) tidak
teratur, tidak teliti, tidak cermat, meskipun kadang tidak disadari, (3)
provokator: cenderung membuat ulah, mencari gara-gara, ingin mencari perhatian,
(4) penguasa: cenderung menguasai teman-teman, mengintimidasi, (5) pembangkang:
bangga kalau berbeda dengan orang lain, tidak ingin melakukan hal yang sama
dengan orang lain, cenderung membangkang.
Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional
(2011:10) telah merumuskan materi pendidikan karakter yang mencakup aspek-aspek
sebagai berikut: (1) religius, (2) jujur, (3) toleran, (4) disiplin, (5) kerja
keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat
kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat
atau komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan,
(17) peduli sosial, tanggung jawab. Sementara itu, Suyanto (2009) berpendapat ada sembilan
pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu (1) cinta
kepada Tuhan dan segenap ciptaannya, (2) kemandirian dan tanggung jawab, (3)
kejujuran/amanah, diplomatis, (3) hormat dan santun, (5) dermawan, suka
menolong dan gotong royong/kerja sama, (6) percaya diri dan pekerja keras (7)
kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, kedamaian,
dan kesatuan.
2. Bagaimana menanamkan pendidikan karakter di kalangan pendidik?
Pendidikan karakter sebaiknya diajarkan secara
sistematis dalam model pendidikan yang holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, acting the
good. Pengetahuan tentang kebaikan (knowing
the good) mudah diberikan karena bersifat kognitif. Setelah knowing
the good perlu ditumbuhkan perasaan senang atau cinta terhadap kebaikan (feeling the good). Selanjutnya, feeling
the good diharapkan menjadi mesin penggerak sehingga seseorang secara suka reka
melakukan perbuatan yang baik (acting the
good). Penanaman dengan model seperti itu, akan mengantarkan seseorang
kepada kebiasaan berlaku baik.
Akan tetapi, dalam penanaman pendidikan karakter
yang utama adalah keteladanan. Orang tua memberikan contoh perilaku yang
positif kepada anak-anaknya, guru memberi contoh kepada
anak didiknya. Sementara itu, para pemimpin memberikan teladan karakter
yang baik kepada masyarakat.
Masalah keteladanan ternyata dilakukan oleh para nabi, terutama Nabi
Muhammad dalam menanamkan akhlak mulia kepada umatnya. Dalam hal ini, Allah menyatakan bahwa ”Sungguh pada pribadi Nabi Muhammad terdapat teladan
yang baik (uswatun hasanah)”. Nabi-nabi yang lain seperti Nabi Ayub
memiliki keteladan dalam ketabahannya menanggung berbagai penderitaan, Nabi Isa
dikenal dengan kesederhanannya, Nabi Musa dikenal dengan kebeberaniannya.
Ada empat karakter yang dimiliki oleh para nabi,
yaitu (1) sidik: selalu berkata yang benar; (2) amanat dapat dipercaya, (3)
tablig: selalu menyampaikan tidak pernah menyembunyikan; (4) fatonah cerdas. Salah
satu karakter yang sejak kecil melekat pada pribadi Muhammad adalah amanat
(dapat dipercaya). Oleh karenanya,
masyarakat Arab memberikan gelar al amin
(dapat dipercaya) jauh sebelum beliau menjadi nabi.
Penanaman pendidikan karakter di sekolah dapat
dilakukan dengan berbagai strategi. Strategi yang dapat dilakukan antara lain
(1) memasukkan pendidikan karakter ke dalam semua mata pelajaran di sekolah,
(2) membuat slogan-slogan atau yel-yel yang dapat menumbuhkan kebiasaan semua
masyarakat sekolah untuk bertingkah laku yang baik,(3) membiasakan perlaku yang
positif di kalangan warga sekolah, dan (4)
melakukan pemantauan secara kontinyu, (5) memberikan hadiah (reward) kepada warga sekolah yang selalu berkarakter baik.
3. Adakah relevansi sastra dan pendidikan karakter?
Sastra secara etimologis
berasal dari kata sas dan tra. Akar kata sas- berarti mendidik, mengajar,
memberikan instruksi, sedangkan akhiran –tra menunjuk pada alat. Jadi, sastra
secara etimologis berarti alat untuk mendidik, alat untuk mengajar, dan alat
untuk memberi petunjuk. Oleh karena itu,
sastra pada masa lampau bersifat edukatif (mendidik).
Banyak hal yang dapat diperoleh dari sastra. Tjokrowinoto (Haryadi, 1994) memperkenalkan
istilah ”pancaguna” untuk menjelaskan
manfaat sastra lama, yaitu (1) mempertebal pendidikan agama dan budi pekerti,
(2) meningkatkan rasa cinta tanah air, (3) memahami pengorbanan pahlawan
bangsa, (4) menambah pengetahuan sejarah, (5) mawan diri dan menghibur. Haryadi
(1994) mengemukakan sembilan manfaat yang dapat diambil dari sastra lama, yaitu
(1) dapat perperan sebagai hiburan dan media pendidikan, (2) isinya dapat
menumbuhkan kecintaan, kebanggaan berbangsa dan hormat pada leluhur, (3) isinya
dapat memperluas wawasan tentang kepercayaan, adat-istiadat, dan peradaban
bangsa, (4) pergelarannya dapat menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan, (5)
proses penciptaannya menumbuhkan jiwa kreatif, responsif, dan dinamis, (6)
sumber inspirasi bagi penciptaan bentuk seni yang lain, (7) proses
penciptaannya merupakan contoh tentang cara kerja yang tekun, profesional, dan
rendah hati, (8) pergelarannya memberikan teladan kerja sama yang kompak dan
harmonis, (9) pengaruh asing yang ada di dalamnya memberi gambaran tentang tata
pergaulan dan pandangan hidup yang luas.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa sastra sangat
relevan dengan pendidikan karakter. Karya sastra sarat dengan nilai-nilai
pendidikan akhlak seperti dikehendaki dalam pendidikan karakter. Cerita rakyat ”Bawang Putih Bawang Merah”
mengandung nilai pendidikan tentang kemanusiaan. Cerita binatang ”Pelanduk
Jenaka” mengandung pendidikan tentang harga diri, sikap kritis, dan protes
sosial. Sementara itu, bentuk puisi seperti pepatah, pantun, dan bidal penuh dengan nilai pendidikan.
4. Bagaimana peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa?
Sastra dapat dilihat dari berbagai aspek. Dari
aspek isi, jelas bahwa karya sastra sebagai karya imajinatif tidak lepas dari
realitas. Karya sastra merupakan cermin zaman. Berbagai hal yang terjadi pada
suatu waktu, baik positif maupun negatif
direspon oleh pengarang. Dalam proses penciptaannya, pengarang akan
melihat fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat itu secara kritis, kemudian mereka mengungkapkannya dalam bentuk
yang imajinatif.
Fungsi sastra adalah dulce et utile, artinya indah dan bermanfaat. Dari aspek gubahan,
sastra disusun dalam bentuk, yang apik dan menarik sehingga membuat orang
senang membaca, mendengar, melihat, dan menikmatinya. Sementara itu, dari aspek
isi ternyata karya sastra sangat bermanfaat. Di dalamnya terdapat
nilai-nilai pendidikan moral yang
berguna untuk menanamkan pendidikan karakter.
Pembelajaran sastra diarahkan pada tumbuhnya sikap
apresiatif terhadap karya sastra, yaitu sikap menghargai karya sastra. Dalam
pembelajaran sastra ditanamkan tentang pengetahuan karya sastra (kognitif),
ditumbuhkan kecintaan terhadap karya sastra (afektif) , dan dilatih
keterampilan menghasilkan karya sastra (psikomotor). Kegiatan apresiatif sastra
dilakukan melalui kegiatan (1) reseptif seperti membaca dan mendengarkan karya
sastra, menonton pementasan karya
sastra, (2) produktif, seperti
mengarang, bercerita, dan mementaskan karya sastra, (3) dokumentatif, misalnya
mengumpulkan puisi, cerpen, membuat kliping tentang infomasi kegiatan sastra.
Pada kegiatan apresiasi sastra pikiran, perasaan, dan kemampuan motorik
dilatih dan dikembangkan. Melalui kegiatan semacam itu pikiran menjadi kritis, perasaan menjadi
peka dan halus, memampuan motorik terlatih. Semua itu merupakan modal dasar
yang sangat berarti dalam pengembangan pendidikan karakter.
Ketika seseorang membaca, mendengarkan, atau
menonton pikiran dan perasaan diasah. Mereka harus memahami karya karya sastra secara kritis dan komprehensif,
menangkap tema dan amanat yang terdapat di dalamnya dan memanfaatkannya.
Bersamaan dengan kerja pikiran itu, kepekaan perasaan diasah sehingga condong
pada tokoh protogonis dengan karakternya
yang baik dan menolak tokoh antagonis yang berkarakter jahat.
Ketika seseorang menciptakan karya sastra, pikiran
kritisnya dikembangkan, imajinasinya dituntun ke arah yang positif sebab ia
sadar karya sastra harus indah dan bermanfaat. Penulis akan menuangkan
imajinasinya sesuai dengan kaidah genre sastra yang dipilihnya. Ia akan memilih
diksi, menyusun dalam bentuk kalimat,
menggunakan gaya bahasa yang tepat, dan sebagainya. Sementara itu, pada benak
pengarang terbersit keinginan untuk menyampaikan amanat, menanamkan nilai-nilai moral, baik melalui
karakter tokoh, perilaku tokoh, ataupun dialog. Dalam penulisan karya sastra orisinalitas
sangat diutamakan. Pengarang berusaha akan berusaha menghindari penjiplakan
apalagi plariarisme. Dengan demikian, nilai-nilai kejujuran sangat dihargai
dalam karang- mengarang.
Dokumentasi sebagai bagian dari kegiatan apresiasi
sastra sangat besar sumbangannya terhadap pendidikan karakter. Tidak semua
siswa ternyata mampu dan mau mendokumentasikan karyanya dan mengkliping karya
orang lain. Pembuatan dokumentasi dan kliping memerlukan ketekuman dan kecermatan. Mereka harus banyak membaca,
kemudian memilih bacaan yang pantas didokumentaikan dan dikliping. Pembuat
dokumentasi dan kliping pada umumnya adalah manusia-manusia yang berpikir masa depan.
C. Kesimpulan
Kondisi masyarakat dewasa ini sangat
memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai media yang memberitakan
tentang keborokan moral. Untuk mengatasi hal itu muncul pemikiran untuk
memperkuat pendidikan karakter yang dapat dilakukan melalui berbagai media,
termasuk sastra.
Sastra secara etimologis berarti alat untuk mendidik,
sehingga bersifat didaktis. Hal ini sesuai dengan fungsi sastra yaitu dulce et ulite (nikmat dan bermanfaat).
Kebermanfaatannya diketahui karena sastra di dalamnya terkandung amanat yaitu
nilai moral yang bersesuaian dengan
pendidikan karakter. Banyak karya sastra lama dan modern yang mengandung
pendidikan karakter, seperti kemanusiaan, harga diri, kritis, kerja keras,
hemat.
Peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa tidak hanya didasarkan pada nilai yang
terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra
yang bersifat apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter. Kegiatan
membaca, mendengarkan, dan menonton karya sastra pada hakikatnya
menanamkan karakter tekun, berpikir
kritis, dan berwawasan luas. Pada saat yang bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan
sehingga pembaca cenderung cinta kepada kebaikan dan membela kebenaran.
Pada kegiatan menulis karya sastra, dikembangkan
karakter tekun, cermat, taat, dan kejujuran. Sementara itu, pada kegiatan
dokumentatif dikembangkan karakter ketelitian, dan berpikir ke depan
(visioner).
Pada masa lampau cerita yang dituturkan orang tua
atau guru, dan pepatah yang ditempel di dinding sekolah mampu menjadi media pendidikan moral. Mengingat akan hal
itu, kita berharap sastra dan pengajaran
apresiasi sastra, baik di sekolah maupun di masyarakat pada kini
dapat perperan dalam pembentukan karakter bangsa.
Yogyakarta, 13 Juni 2011
Daftar Pustaka
Haryadi. 1994. Sastra Melayu.
Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
Pritchard, I. 1988.
”Character \education: Research Prospect and Problem” American Journal of Education. 96 (4) 1988.
Suyanto. 2009. Urgensi
Pendidikan Karakter. http:// www.
mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html.
Zuchdi, Darmiyati. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori
dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press.
Zuhlan, Najib. 2011. Pendidikan
Berbasis Karakter. Surabaya: JePe Press Media Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar