Frans Apriliadi/12201241006/PBSI K
2012
Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, FBS
UNY
PENDAHULUAN
Pada hakikatnya puisi
adalah sebuah karya sastra yang mencoba mengekspresikan perasaan dan pikiran
yang dialami oleh penyair untuk disampaikan serta dapat dinikmati oleh pembaca
melalui karya tulis dengan bentuk bahasa-bahasa yang penuh akan serat makna.
Menurut Duton (dalam Maman Suryaman dan
Wiyatmi, 2012:12) menyatakan bahwa puisi merupakan pemikiran manusia secara
konkret dan artistik dalam bahasa emosional dan berirama. Dengan
demikian, sebenarnya puisi merupakan ungkapan batin dan pikiran penyair dalam
menciptakan sebuah dunia berdasarkan pengalaman batin yang diikutinya.
Untuk memahami, menafsirkan dan
menghargai suatu karya sastra sehingga tercipta suatu perasaan yang dapat
menumbuhkan pengertian dan rasa untuk menghargai suatu karya tersebut,
dibutuhkan suatu bentuk apresiasi sastra. Tarigan (1984: 233) mengatakan bahwa apresiasi sastra adalah penafsiran
kualitas karya sastra pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan
pengamatan dan pengalaman yang jelas, sadar serta kritis.
Sehingga apresiasi puisi merupakan suatu
bentuk proses memahami, menumbuhkan serta menghargai sebuah puisi atau karya
sastra sehingga dapat mengespresikan perasaan serta pikiran untuk memperoleh
pengertian, penghargaan dan kepekaan perasaan terhadap puisi yang akan
diapresiasi.
Dalam puisi Gadis Ariviana yang
berjudul Akhirnya Disahkan, termasuk
salah satu contoh jenis puisi deskriftif yang cenderung menggambarkan tanggapan
atau kesan penyair terhadap suatu hal yang pernah atau telah terjadi
sebelumnya. Puisi Gadis Arivia yang berjudul Akhirnya Disahkan ini mempersoalkan masalah eksistensi pemerintah
yang setuju disahkannya Undang-Undang Pornografi oleh anggota Parlemen Republik
Indonesia pada tanggal 30 Desember 2008.
Sebuah karya sastra
pada umumnya memiliki hubungan sejarah antara karya sastra pada zamannya, yang
telah terjadi atau yang akan terjadi kemudian. Dalam hubungan tersebut umumnya
terjadi keserasian maupun pertentangan. Sehingga dalam mendalami hubungan
tersebut, penting dibicarakan karya sastra dalam kaitannya dengan karya
sezaman, sebelum dan sesudahnya. Sehingga pada konteks inilah muncul metode
kritik intertekstualitas yang digunakan untuk menganalisis puisi Akhirnya Disahkanya karya Gadis Arivia.
Pendekatan Intertekstualitas sendiri merupakan metode penelitian sastra dengan
jalan membandingkan, menjelaskan dan mengkontraskan sebuah teks transformasi
dengan hipogramnya (Rahmat Djoko Pradopo, 1993:132-135). Sedangkan menurut
Bakhtin (dalam Noor,2007:4) menekan pengertian pendekatan intertekstual bahwa sebuah
teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan kerangka teks-teks
sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, prodi, acuan ataupun kutipan.
Sehingga dapat disimpulkan pendekatan intertekstual merupakan pendekapan yang
membandingkan, menjelaskan dan mengkontraskan sebuah teks yang dipandang
berasal dari cangkokan kerangka teks atau kejadian lain yang umumnya telah
terjadi.
Sajak Gadis Arivia merupakan bentuk ekspresi
terhadap konsep pelaksanaan kebijakan pemerintah yang terbelah menjadi dua
bagian antara rakyat yang mengandalkan akal publik sehat dan rakyat yang
mengandalkan doktrin agama. Sehingga puisi Akhirnya
Disahkan menjadi salah satu hal yang menarik untuk diperbincangkan. Melalui
tulisan ini mencoba untuk memahami bagaimana puisi Akhirnya Disahkan karya Gadis Ariviana digunakan untuk menyampaikan
ekspresi dalam bentuk penolakan terhadap UUP yang disahkan oleh pemerintah
tersebut.
PEMBAHASAN
Puisi
Gadis Arivia yang berjudul Akhirnya
Disahkan merupakan sebuah bentuk penolakan terhadap kebijakan pemerintah
yang mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan sejarah panjang negara
Indonesia. Penolakan tersebut berbentuk ketidaksetujuan Gadis Arivia yang
mewakili sebagiaan besar masyarakat yang turut menolak pengesahan Undang-Undang
Pornografi yang menimbulkan kontroversi antara masyarakat Indonesia.
Undang-Undang
Pornografi sendiri yang diusulkan pemerintah sebenarnya merupakan materi seksualitas yang dibuat
oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara,
bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau
bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau
melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat (http://news.detik.com,
2008). Beberapa daerah seperti Jogya, Sulawesi
Utara, Bali dan Papua cukup keras menentang disahkannya UUP. Mereka khawatir
UUP akan menjerat masyarakat karena ekspresi pakaian adat, seni dan
tarian-tarian mereka yang bisa jadi dikategorkan sebagai porno. Adakah suara
mereka didengar? Nyatanya suara mereka dianggap “angin lalu”. Hanya dua partai
yakni PDIP dan PDS yang melakukan “walk out” tanda protes atas pengesahan RUUP (http://gadisarivia.blogspot.com/2008/).
Bentuk penolakan Arivia tersebut kemudian diekspresikan dalam bentuk sebuah
sajak Akhirnya Disahkan, sebagai
bentuk penolakan mewakili sebagaian masyarakat dan daerah di Indonesia yang
sedikit kurang diperhatikan dalam membuat Undang-Undang tersebut, yang mana
puisinya sebagai berikut :
Akhirnya Disahkan
Undang-Undang Pornografi akhirnya disahkan oleh anggota Parlemen Republik
Indonesia pada tanggal 30 Desember 2008. Menteri agama, Maftuh Basyuni,
mewakili pemerintah menyatakan setuju.
Kebaya
seksi warisan budaya tersimpan di museum setelah UUP disahkan.
Ekspor-import
BH semarak masuk pasar Wamena setelah UUP disahkan.
Penyair
stress tak tahu bagaimana menggambarkan payuudara setelah UUP disahkan.
Badan
sensor FILM mengumpulkan gunting banyak-banyak setelah UUP disahkan.
Raja
danggut Rhoma semangat memarahi goyang ngebor Inul setelah UUP disahkan.
Hakim
sibuk mengetuk palu porno tak peduli kasus korupsi uang negara setelah UUP
disahkan.
Polisi
makmur sentosa terima uang dari kelompok rajin melapor setelah UUP disahkan.
Kursi
kekuasaan kini aman pasti terpilih lagi pemilu mendatang setelah UUP disahkan.
Pada baris pertama pada
puisi di atas di gambarkan dengan pakaian yang biasa dipakai oleh sebagaian
besar kaum perempuan Jawa, yang biasa disebut dengan nama kebaya. Kebaya
sendiri pada zaman modern seperti saat ini, sudah beberapa kali mengalami
proses moderenisasi. Awalnya kebaya hanya ada dalam model lengan panjang dan
belum mengalami banyak vasiasi di sana-sini. Namun, sejalan dengan perkembangan
waktu kebaya yang sering dijumpai kebanyakan sudah diubah jauh dari bentuk
asalnya seperti lengan panjang menjadi lengan pendek, kain yang dipakai lebih
transparan sehingga memperlihatkan bagian tubuh pemakai, dan bentuknya sedikit
lebih minim sehingga terlihat menyatu dengan bentuk tubuh. Sehingga seorang
yang memakai kebaya dengan bentuk seperti ini, akan menimbulkan rangsangan
seksualitas bagi yang melihatnya sehingga menimbulkan pandangan pornografi.
Pada baris kedua,
menggambarkan realita yang terjadi setelah di tanah papua. Pada dasarnya budaya
dan tradisi disana menganggap bahwa wanita papua tidak diijinkan untuk
mengenakan pakain lengkap, dikarenakan persepsi masyarakat Papua yang ada disana
mengatakan jika perempuan Papua berpakaian lengkap berarti mereka melihat
wanita tersebut tidak berbusana atau telanjang. Tetapi justru ketika mereka
melihat wanita itu tanpa busana, para warga melihatnya sebagai hal yang lumrah
(http://forum.kompas.com/2010).
Setelah Undang-Undang Pornografi disahkan, Gadis Ariviana menggambarkan akan terjadinya
proses eksport-import BH yang luar biasa yang dilakukan para wanita Papua untuk
menutupi bagian tubuh mereka, supaya tidak termasuk masyarakat yang melanggar
hukum.
Pada baris ketiga,
terlihat Undang-Undang Pornografi membatasi bentuk kebebasan sastrawan dalam
menuangkan pikiran dan perasaannya dalam bereskpresi. Para sastrawan harus
berhati-hati dalam memilih kata-kata ketika menyusun karya sastra mereka, jika
tidak ingin dianggap sebagai karya sastra yang tergolong bentuk pelanggaran
pornografi.
Pada baris keempat,
menggambarkan kerja Badan Sensor Film yang mengumpulkan potongan-potongan film yang dianggap menampilkan unsur-unsur
berbau pornografi atau gambar-gambar yang tidak sesuai dengan nilai kesopanan setelah
Undang-Undang Pornografi disahkan.
Pada baris kelima,
Gadis Ariviana menggambarkan suatu bentuk tindakan penolakan yang digambarkan
oleh sosok Raja dangdut Rhoma Irama yang semangat memarahi goyang ngebor Inul
Darasista yang bisa mengundang nafsu bagi yang memandangnya, dikarenakan
mempertontonkan bagian tubuh di muka umum. Seperti yang diketahui pada umumnya
para penyanyi dangdut selain mengutamakan keahlian mereka dalam bernyanyi,
mereka juga pada umumnya memamerkan gerakan tubuh mereka sebagai bentuk daya
tarik terhadap penonton. Sehingga hal inilah yang bisa dianggap sebagai bentuk
tindakan yang mengundang unsur seksualitas, bentuk eksploitasi tubuh,
ketelanjangan dan unsur-unsur pornografi lainnya yang dikategorikan sebagai
pelanggaran terhadap Undang-Undang Pornografi yang telah disahkan tersebut.
Pada baris keenam dan
ketujuh, menggambarkan sikap yang diambil oleh Hakim dan aparat penegak hukum
dalam menjalankan tugasnya, jika tugas mereka hanya sebatas mengetuk palu dan
mengadili masyarakat yang melakukan pelanggaran hukum yang berbau pornografi
saja, maka kasus-kasus besar seperti
korupsi uang negara yang jumlahnya triliunan, tindakan pencurian, maupun
pembunuhan dilupakan begitu saja. Dan polisi pun menjadi makmur dikarekan
menerima banyak uang dari para koruptor agar kasus yang mereka alami tidak jadi
diselesaikan dan sidang peradilan yang semestinya dilaksanakan harus ditunda
dalam kurun waktu yang lama.
Pada baris kedelapan,
Gadis Ariviana menggambarkan nasib para koruptor yang merasa aman dan merasa
yakin pasti terplih kembali pada saat pemilu yang akan datang, dikarena
tindakan korupsi yang dilakukan oleh mereka tidak pernah disidangkan oleh hakim
ketua dan polisi beserta aparat penegak hukum lainnya tidak lagi memperdulikan
kasus korupsi-korupsi yang pernah mereka lakukan, dikarenakan para penegak
hukum terlalu sibuk dalam menangkap para masyarakat yang tertangkap melanggar
Undang-Undang Pornografi.
Melalui puisi Akhirnya Disahkan ini karya Gadis
Ariviana dapat diketahui usaha-usaha yang dicoba dilakukan oleh masyarakat
dalam menggugat kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemeriintah. Pada dasarnya
kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Pornografi
tersebut menyudutkan dan merugikan banyak pihak terutama masyarakat Papua, Jawa
maupun masyarakat Indonesia lainnya. Walaupun maksud yang diusulkan baik untuk
berpakaian dan berprilaku sesuai dengan budaya negara Indonesia. Tetapi perlu
diingat, Indonesia terdiri diatas kesepakatan ratusan suku bangsa yang
beranekaragam suku budayanya. Ratusan suku budaya tersebut mempunyai
norma-norma dan cara pandang yang berbeda mengenai kepatuhan dan tata susila.
RUUP dipandang menganggap bahwa
kerusakan moral bangsa disebabkan karena kaum perempuan tidak bertingkah laku
sopan dan tidak menutup rapat-rapat seluruh tubuhnya dari pandangan kaum
laki-laki. Pemahaman ini menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah.
Perempuan juga dianggap bertanggungjawab terhadap kejahatan seksual. Menurut logika agamis di dalam UUP ini, seksualitas dan tubuh penyebab pornografi
dan pornoaksi merupakan seksualitas dan tubuh perempuan. Bahwa dengan membatasi
seksualitas dan tubuh perempuan maka akhlak mulia, kepribadian luhur,
kelestarian tatanan hidup masyarakat tidak akan terancam. Seksualitas dan tubuh
perempuan dianggap kotor dan merusak moral. Sedangkan bagi pendukungnya, undang-undang
ini dianggap sebagai tindakan preventif yang tidak berbeda dengan undang-undang
yang berlaku umum di masyarakat (http://id.wikipedia.org/2013).
Dimana puisi tersebut mencoba menjawa eksistensi Pemerintah
terhadap kinerja dan kebijakan yang diambilnya. Yang mana pemerintah sebnarnya
bertugas sebagai penyalur sekaligus pejuang aspirasi rakyat. Bukan untuk menyalurkan
kepentingan sendiri, apalagi memperjuangkan kepentingan golongan tertentu untuk
kepentingan tertentu pula.
Jadi dari puisi tersebut, pembaca dapat mengambil pelajaran
bahwa dalam menerima suatu tugas hendaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan
bertanggungjawab. Sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
KESIMPULAN
Melalui pusisi karya
Gadis Ariviana yang berjudul Akhirnya
Disahkan menimbulkan perasaan tertekan yang dialami oleh sebagian
masyarakat Indonesia yang akhirnya memunculkan suatu problema politik diantara
kuasa pemerintah dan norma agama. Dimana dalam konteks pemikiran pengarang
sendiri dalam puisi tersebut tercermin dalam bait-bait pusisinya yang secara
keseluruhan mewakili bentuk penolakan dari sebagaian masyarakat Indonesia yang
dirugikan oleh kebijakan pemerintah yang hanya mendepankan kepentingan pribadi
tanpa melihat kembali unsur-unsur pembentuk negara Indonesia itu sendiri.
Pemikiran penulis
sendiri dalam puisi tersebut tercermin dalam bait-bait puisinya yang
menginsyaratkan agar pemerintah kembali menoleh kepada rakyat atau orang tanpa
mementingkan satu kelompok saja. Hal ini merupakan respon langsung terhadap
repsesi yang dialami oleh realitas sosial dengan gaya dan sudut pandang secara
langsung mempersoalkan, bahkan merumuskan problem sosial tersebut.
Daftar
pustaka
http://news.detik.com/read/2008/09/16/080110/1006768/10/inilah-isi-ruu-pornografi.
Diunduh melalui Google pada 07
Januari 2014 Pukul 20.00 WIB.
http://gadisarivia.blogspot.com/2008/. Diunduh
melalui Google pada 07 Januari 2014 Pukul 20.15 WIB.
http://forum.kompas.com/perempuan/23804-mengapa-wanitanya-tak-berbaju-4.html. Diunduh melalui google pada 07 januari 2014 pukul
20.44 WIB.
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pornografi. Diunduh
melalui google pada 07 januari 2014 pukul 21.16 WIB.
Noor,
Redyanto.2007. “Perspektif Resepsi Novel Chilit dan Teenlit Indonesia” Makalah
Diskusi Program Studi S3 Sastra.
Suryaman,Maman
dan Wiyatmi.2012.Puisi Indonesia.
Yogyakarta:Ombak
Tarigan,G.H.1984.Prinsip-prinsip
Dasar Sastra.Bandung:Angkasa.
Pradopo, Rahmat
Djoko.2005. Beberapa
Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar