Farizal Sikumbang (6 Januari 2008)
Aku
seperti seonggok batu yang bisu di malam hari. Diam dan kaku. Tubuhku disepuh
cahaya bulan. Aku duduk di gubuk sawah milik abak yang tak berdinding dan
beratap daun rumbia. Udara dingin menyergap dari berbagai arah. Entah sampai
berapa lama aku akan mampu bertahan dari udara malam ini. Udara malam yang
mengilu kulit sampai ke semua rusuk tulang. Juga sampai ke hati, karena hati
membuka diri untuk membunuh rasa sepi dan pedih tak terperi ini. Sebab bukankah
kesedihan hati juga akan membuat suasana akan terkondisi?
Iya.
Seperti malam ini rasanya entah apa. Kesedihan menyergap dari berbagai arah.
Luka serasa semakin menyiksa karena malam yang sunyi seperti sembilu yang turut
melukai hati. Tapi hanya malam dan di gubuk ini aku bisa merenung diri.
Menimbang-bimbang nasib. Menyesali diri, mengapa dulu pindah ke kampung halaman
ini. Menyepelekan saran sahabat dan kerabat. Kini aku terperangkap dalam
keputusan yang digulung adat. Mengunyah harapan dan mematikan keinginan. Di
bawah langit yang berbintang, berkali-kali berkelebat wajahmu sambil menusuk
sepi ini. Wahai Faraswati, adakah engkau rasakan deritaku ini ?
Semua berawal dari enam bulan yang lalu. Pada sebuah
perkenalan yang tak disengaja. Di atas bus ANS pertama kali aku melihatmu. Kala
itu aku pulang ke Padang setelah pengajuan surat pindah tugasku dikabulkan.
Kutahu engkau naik dari Bukittinggi pada pagi hari. Di kala kedua mataku masih
mengantuk dan tubuh terasa penat setelah satu hari aku duduk di kursi bus itu.
Entah
sebuah kebetulan atau tidak. Kamu menghempaskan tubuh di tempat duduk di
sebelahku. Di antara kantukku yang masih menggantung, aroma tubuhmu
berputar-putar menusuk hidungku. Buru-buru aku cepat memperbaiki duduk.
Merapikan pakaian yang terlihat kusut. Meraba rambut supaya tidak terlihat
semrawut. Faraswati, kau tahu, di masa itu aku sebenarnya begitu gugup. Betapa
tidak. Engkau muncul di sisiku seperti bidadari di pagi hari. Tubuhmu ramping.
Kulitmu kuning bersih. Pakaian yang kau kenakan memperlihat lekuk tubuhmu.
Maka ketika
bus melaju meninggalkan terminal Bukittingi yang sempit itu, aku mulai mencari
kata untuk mengenalmu.
Di dalam
bus yang melaju. Berlari gegas menyusuri jalan berkelok. Kuperhatikan wajahmu.
Kamu seperti memikirkan sesuatu. Tatapanmu lurus ke depan memperhatikan
ujung-ujung jalan yang akan dilewati bus itu.
Tepat pada
jalan yang agak meluncur, kamu terlihat agak susah payah mengeluarkan handphone
di saku celana jeans-mu yang ketat. Lalu kamu mengutak-atik handphone-mu itu.
Sepertinya kamu ingin mengirimkan pesan singkat buat seseorang. Setelah selesai
kembali kau sorongkan handphone ke dalam celana jeans-mu. Dan di saat itulah,
siku tanganmu menyentuh bahuku.
“Maaf,”
katamu pelan sambil sedikit tersenyum.
“Tak apa,”
jawabku pula.
Lalu kamu
kembali duduk seperti semula. Menatap ke depan.
“Mau ke
mana,” tanyaku.
“Ke
Padang,” jawabmu.
Aku
terdiam. Mencoba mencari kembali kata untuk mengajakmu berbicara.
“Ke Padang
tempat siapa,” begitu kataku selanjutnya.
Sejenak
engkau diam. Seperti mencari sebuah jawaban.
“Ke rumah
orangtua,” jawabmu.
“Lalu di
Bukittingi tempat siapa?”
“Tempat
kakak.”
“O.”
“Kalau uda
dari mana?”
“Dari
Medan,” jawabku
“Dari
Medan,” katamu pelan.
Lalu
selanjutnya kita terus berbicara berbagai hal. Menghabiskan jam demi jam.
Sampai kau ceritakan tentang dirimu yang akan segera diwisuda di Universitas
Negeri Padang. Di atas bus yang menderu, kita bagai dua orang yang sudah lama
cukup kenal. Aku pun tak mengerti, mengapa kita lekas begitu akrab. Ketika kamu
akan turun di tempat tujuan, tidak lupa kuminta nomor handphone-mu.
Esok
harinya aku mencari rumahmu lewat SMS yang kau kirim. Seperti seekor kumbang
dengan sayap penuh bunga aku terbang menyusuri kampungmu. Kutahu kampungmu
masih dipenuhi sawah-sawah membentang. Ada jalan setapak dari simpang tiga yang
menuju ke rumahmu seperti yang kau tulis lewat SMS. Setelah terbang cukup lama
akhirnya aku menemukan rumahmu.
Rumahmu
berupa rumah panggung. Dipagari bilah-bilah bambu yang melingkar. Bunga-bunga
mekar di dalamnya. Setumpuk bunga mawar yang tumbuh di dekat anak tangga
memperlihatkan bunga-bunganya yang merah hati. Sewaktu kuinjak anak tangga
pertama, jantungku berdebar kencang membayangkan kamu akan membukakan pintu
dengan tersenyum. Tapi, ternyata tidak. Setelah pintu kuketuk, rupanya bukan
kamu yang membukakan pintu. Akhirnya kutahu dia ayahmu. Badannya kekar.
Berkumis tebal. Faraswati, di saat itu aku merasa sangat penakut. Namun setelah
berbicara dengan ayahmu, nyatanya dia sangat baik.
Kebaikannya
itu pulalah yang membuat aku di hari-hari berikutnya kembali ke rumahmu.
Menemuimu di setiap aku merasa seekor kumbang yang ingin hinggap pada sekuntum
bunga. Hari dan bulan berlalu. Aku seekor kumbang yang semakin mabuk harum
bunga. Akhirnya pada suatu malam, kita memutuskan untuk menikah.
“Menikah?
Dengan Siapa? Anak siapa dia, ha. Di mana rumahnya,” tanya abak setelah
kunyatakan keinginanku itu.
“Rumahnya
di Air Dingin,” jawabku
“Di Air
Dingin? Ham. Bagus, berarti masih orang Minang juga. Kutakut, kau bawa pula
gadis Batak itu kemari,” jawab amak.
“Tidak-lah
mak. Sewaktu bertugas di Medan. Sudah kutanamkan bahwa aku tak akan kawin di
sana.”
“Kalau
memang sudah begitu, kau suruhlah orangtuanya ke mari. Biar kita buat
kesepakatan.”
“Iya bak.”
Lalu dua
hari selanjutnya kedua orangtuamu datang. Kuingat itu pada suatu malam. Di
dalam kamar, di antara hati yang berbunga-bunga aku berusaha mencuri percakapan
mereka. Ternyata, di malam itu, semuanya berubah. Semuanya seperti yang tidak
kita duga.
“Apa?
Sepuluh juta?”
“Ya.”
“Bagaimana
kalau tiga juta. Karena kami tidak punya uang sebanyak itu. Belum lagi uang
untuk pesta dan membeli perlengkapan lain.”
“Itu sudah
sepantasnya. Kalau tiga juta itu-kan, untuk laki-laki yang tidak mempunyai
pekerjaan tetap. Tapi anak kami seorang guru pegawai negeri. Kami rasa sepuluh
juta itu sudah sepadan.”
“Terus
terang kami tidak bisa memenuhi uang jemputan sebanyak itu. Untuk saat ini kami
mengalah. Uang itu terlalu besar buat kami.”
Lalu tidak
berapa lama kemudian kudengar kedua orangtuamu minta pamit diri.
“Abak,
mengapa jadi begitu. Mengapa harus ada uang jemputan sebanyak itu,” tanyaku.
“Sepuluh
juta itu sudah biasa buyung. Kau tahu, si Husen anak Apak Kahar yang bekerja
sebagai montir Honda dijemput lima juta. Apalagi kau, seorang pegawai negeri.”
“Tapi
abak, aku tak butuh uang sebanyak itu. Aku punya uang untuk pesta
pernikahanku.”
“Ini soal
adat dan harga diri buyung. Apa kata orang nanti. Masa anak seorang pegawai
negeri tidak ada uang jemputan.”
“Itu kan
lebih bagus abak.”
“Tidak.
Tidak ada uang jemputan itu lebih tidak bagus. Pokoknya uang jemputannya
sebanyak itu. Jika tidak, jangan harap kau bisa menikah dengannya. Kau sudah
susah payah aku sekolahkan. Biayamu besar. Kau tahu.”
Malam itu
aku tidak bisa tidur. Aku mondar-mandir di kamar seperti orang kesurupan.
Hatiku gelisah. Ruangan kamar itu berubah seperti sebuah petakan yang siap
hendak menjepit tubuhku. Setelah lelah berputar, aku akhirnya menghempaskan
tubuh di atas kasur. Tidak lama kemudian kuterima kiriman SMS-mu.
“Uda, ayah
sudah pulang dari rumah uda. Ayah sudah menceritakan semuanya. Katanya ayah
tidak punya sebanyak itu. Itu memang benar. Ayah beberapa bulan yang lalu sudah
menjual satu ekor sapinya untuk uang wisudaku yang lalu. Kami bukan orang kaya
uda. Jadi bagaimana kami bisa memenuhi uang sebanyak itu? Aku bingung uda.
Apakah kasih kita akan patah sampai di sini? Aku tunggu jawaban uda”
Begitu
bunyi SMS-mu yang semakin membuat mataku tak bisa dipejamkan malam itu.
Kini, di
malam ini aku belum juga bisa membalas SMS-mu itu. Aku tidak bisa memutuskan
apa-apa. Aku tak bisa menentang abak. Aku benar-benar menjelma seperti batu.
Diam dan kaku. Oh Faraswati, di bawah cahaya bulan, di dalam gubuk tak
berdinding ini, kuharap kau mengerti deritaku ini.
Padang
2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar