Selamat Datang Di blogku...Selamat Membaca Semoga Bermanfaat
Kupersembahkan Rangkaian Kata-Kata Indah Buat Ibu Saya Tercinta Dirumah, Wanita Yang Paling Saya Cinta Dan Paling Saya Bangga

Sabtu, 10 Mei 2014

Interprestasi Puisi Jakarta Bersaksilah


Jakarta Bersaksilah dalam Puisi Diah Hadaning Dilihat dari  Kajian Semiotik dan Intertekstualitas Sastra
(Frans Apriliadi/12201241006/PBSI K 2012)

Ketika membaca puisi Diah Hadaning, hal pertama yang muncul dalam pikiran pembaca adalah sebuah puisi yang hampir semua baitnya menggambarkan akan sebuah peristiwa besar yang pernah terjadi di Indonesia tepatnya pada bulan Mei 1998 yang dikenal sebagai peristiwa reformasi. Dalam peristiwa tersebut, kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan mengalami kerusakan yang cukup parah dari tindakan-tindakan anarki para demonstran, yang kebanyakan terdiri dari para mahasiswa dan masyarakat kepada pemerintah. Aksi demonstran yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat tidak hanya terjadi di jalan-jalan saja, tetapi sampai menduduki atap gedung DPR sambil mengibarkan Sang Bendera Merah Putih dengan diiringi orasi-orasi untuk mendapatkan perubahan dikarenakan rasa sakit dan kecewa terhadap pemerintah yang diterima selama ini. Dalam puisi tersebut, tergambar usaha para mahasiswa dan masyarakat berusaha untuk menurunkan kekuasaan Orde Baru di Indonesia yang hampir 32 tahun dipimpin oleh Bapak Soeharto (Ester Indahyani Jusuf, dkk. 2005).
Dengan menggunakan pengungkapan ide yang sederhana, puisi tersebut seolah dijadikan alat perekam setiap kejadian atas perstiwa jatuhnya masa Orde Baru. Hal tersebut tercemin dalam setiap bait puisi sebagai berikut : Bunga-bunga bulan Mei/ Bermekaran semarak warna/ di halaman Rumah Rakyat/ Bendera-bendera berkibar/ di tangan berkeringat/ karisma yang bangkit/ dari liang luka dan sakit/ Jakarta bersaksilah/ wajah-wajah anak jaman/ berbinaran semarak rasa/ di halaman Rumah Rakyat/ suara-suara penuhi udara/ di jantung ada warna merah kesumba/ karisma jadi balada/ dalam angin pembaharuan/ Jakarta bersaksilah. (Republika, edisi 21 Juni 1998). Sehingga Karya Diah Hadaning banyak memiliki pemaknaan ungkapan sebagai bentuk sebuah penciptaan dari replika kehidupan yang nyata.
            Dalam memperoleh makna dalam sebuah karya sastra disamping ditentukan oleh bahasa yang digunakan juga tidak terlepas dari kovensi-kovensi sastra. Dalam hal ini sebagai sistem tanda karya sastra mempunyai kovensi-kovensi sendiri. Contohnya, puisi sebagai sistem tanda mempunyai satuan-satuan tanda atau simbolik berupa kosa kata, bahasa kiasan, sarana rektorika, dan gaya bahasa pada umumnya. Selain itu juga memiliki kovensi ambiguitas, kontradiksi, maupun tipografi (bdk.Pradopo,dalam Wiyatmi, 1994:94).
Puisi Jakarta Bersaksilah merupakan salah satu puisi yang ditulis sekitar tahun 1980-an, dalam situasi kehidupan masyarakat yang penuh permasalahan. Puisi Jakarta Bersaksilah dianggap puisi yang mengandung pemaknaan yang begitu dalam tentang penderitaan masyarakat pada saat terjadi Orde Baru. Dapat dilihat dari pemilihan judul puisi itu sendiri yaitu “Jakarta” yang secara semiotik berarti penanda atau subjek yang sedang mengalami penderitaan. Sedangkan “Bersaksilah” yang berarti petanda atau lirihan suara dari masyarakat yang menginginkan perubahan.
Dilihat dari citraannya, puisi karya Diah Hadaning lebih banyak mengutamakan citraan perasaan dan pengelihatan, seperti pada bait : Bunga-bunga bulan Mei/ Bermekaran semarak warna/ di halaman Rumah Rakyat/ Bendera-bendera berkibar/ di tangan berkeringat/ karisma yang bangkit/ dari liang luka dan sakit/ Jakarta bersaksilah/ wajah-wajah anak jaman/. Sehingga secara keseluruhan menggambarkan akan kesedihan seseorang yang merasa bentuk pemerintahan yang berjalan tidak lagi sesuai dengan yang diharapkan.
Adapun nada dan suasana yang tersirat dalam puisi Jakarta Bersaksilah adalah lirihan atau sedih dan menderita. Selain itu, yang perlu diketahui adalah unsur lapis makna. Pada puisi Tembang Nelayan penyair menggambarkan tentang suara penderitaan masyarakat karena nasibnya yang tidak kunjung berubah dikarenakan pemerintah tidak lagi mementingkan kepentingan rakyat. Kemudian, Penyair menggambarkan harapan datangnya angin pembahatuan.
Dari bait-bait puisi di atas, tergambar tentang ciri khas puisi yang dibuat berkisar tahun 1998 sampai dengan tahun 2000. Puisi seperti ini secara estetis mampu menggambarkan citra puisi-puisi tersebut, disamping menjadi gambaran tentang puisi indonesia pada umumnya. (Priyo Prabowo,2009:106)
Puisi dengan bentuk ekspresi sederhana masih menjadi pilihan penyair dalam menuangkan segala ekspresi sebagai sarana kepuitisannya.  Walaupun jumlah puisi bergaya seperti ini jumlahnya tidak sebanyak puisi yang bergaya mantra dan imajisme atau mengutamakan unsur gerak.  Mantra adalah jenis puisi yang paling tua dalam sastra. Mantra diciptakan dalam kepercayaan animisme dan dinamisme untuk dibacakan dalam acara berburu, menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan untuk membujuk hantu-hantu yang baik dan menolak hantu yang jahat (Djamaris, dalam Setyawati.dkk, dalam Suryaman,Maman dan Wiyatmi, 2012:75).
Dalam memahami puisi Diah Hadaning ini, kita seharusnya harus memahami berbagai informasi dan kepentingan yang berhubungan hal-hal yang terjadi pada bulan Mei 1998, tepatnya awal kebangkitan masa Orde Baru. Pada umumnya gaya bahasa yang digunakan akan membawa kita termenung dan berpikir, berkontemplasi tentang makna kehidupan disertai dengan adanya perluasan wawasan, pendalaman rasa keharuan, dan gejolak antara manusia dengan kemanusiaannya. Disamping imajinasi untuk memahami puisi tersebut.
Dalam hubungan dengan karya sastra Indonesia sebelumnya, lahirnya puisi karya Diah Hadaning sebagai bagian kecil puisi yang bersifat baru dan tidak jauh berbeda dengan puisi-puisi karya sastrawan sebelumnya, seperti Abdul Hadi WM (1966-an) atau Sutardji Calzoum Bachri (1966-an), maupun sastrawan terkenal seperti Chairil Anwar (1940-an) atau W.S Rendra (1970-an) yang kebanyakan bercerita akan masa Orde Baru dan kritik kepada pemerintah.
Puisi karya Diah Hadaning umumnya menggunakaan bahasa yang lurus, tanpa harus meninggalkan ambiguitas, ciri yang umumnya ada pada puisi modern. Puisi modern pada umumnya lebih menonjolkan masalah manusia individual sebagai pusat perhatian, tanpa nilai teladan atau keagungan; ketidakadaan unsur pendidikan atau manfaat atau etik yang  langsung dapat diturunkan dari dunia sajak modern (Suryaman,Maman dan Wiyatmi,2012:25).
Dengan memahami puisi Jakarta Bersaksilah karya Diah Hadaning pembaca diajak untuk mengetahui sejarah yang pernah terjadi pada Mei 1998 yang berdampak langsung terhadap pemerintahan saat ini. Selain itu dengan membaca puisi ini pembaca dapat mengetahui akan pemaknaan ungkapan sebagai sebuah penciptaan atau refleksi kenyataan hidup, sehingga dapat menggambarkan berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakat secara dinamis akan sebuah realita yang benar-benar terjadi..

Daftar Pustaka

Ester Indahyani Jusuf, dkk. 2005. Kerusuhan Mei 1998-Fakta, Data dan Analisa.Jakarta: Kerjasama Solidaritas Nusa Bangda, APHI, dan TIFA.
Priyo Prabowo, Dhanu. 2009. Puisi Indonesia di Yogyakarta dalam Surat Kabar Priode 1981-2000. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional.

Suryaman,Maman dan Wiyatmi.2012.Puisi Indonesia.Yogyakarta:Penerbit Ombak

Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta : Pustaka

Republika, edisi 21 Juni 1998. “Sajak-sajak Peduli Bangsa”. Dalam http://www.republika.co.id diakses pada tanggal 28 November 2013 pukul 19.00 WIB.


Jakarta Bersaksilah
Oleh Diah Hadaning

Bunga-bunga bulan Mei
Bermekaran semarak warna
di halaman Rumah Rakyat

Bendera-bendera berkibar
di tangan berkeringat
karisma yang bangkit
dari liang luka dan sakit
Jakarta bersaksilah

wajah-wajah anak jaman
berbinaran semarak rasa
di halaman Rumah Rakyat
suara-suara penuhi udara
di jantung ada warna merah kesumba
karisma jadi balada
dalam angin pembaharuan
Jakarta bersaksilah.

Bogor,Mei 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR ANDA DAN HARAP ISI BUKU TAMU DAN TINGGALKAN ALAMAT SITUS ANDA INSYAALLAH AKAN SAYA KUNJUNGI