Jakarta
Bersaksilah dalam Puisi Diah Hadaning Dilihat dari Kajian Semiotik dan Intertekstualitas Sastra
(Frans
Apriliadi/12201241006/PBSI K 2012)
Ketika membaca puisi Diah Hadaning, hal
pertama yang muncul dalam pikiran pembaca adalah sebuah puisi yang hampir semua
baitnya menggambarkan akan sebuah peristiwa besar yang pernah terjadi di
Indonesia tepatnya pada bulan Mei 1998 yang dikenal sebagai peristiwa
reformasi. Dalam peristiwa tersebut, kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan
mengalami kerusakan yang cukup parah dari tindakan-tindakan anarki para
demonstran, yang kebanyakan terdiri dari para mahasiswa dan masyarakat kepada
pemerintah. Aksi demonstran yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat tidak hanya
terjadi di jalan-jalan saja, tetapi sampai menduduki atap gedung DPR sambil
mengibarkan Sang Bendera Merah Putih dengan diiringi orasi-orasi untuk
mendapatkan perubahan dikarenakan rasa sakit dan kecewa terhadap pemerintah
yang diterima selama ini. Dalam puisi tersebut, tergambar usaha para mahasiswa
dan masyarakat berusaha untuk menurunkan kekuasaan Orde Baru di Indonesia yang
hampir 32 tahun dipimpin oleh Bapak Soeharto (Ester
Indahyani Jusuf, dkk. 2005).
Dengan menggunakan pengungkapan ide yang
sederhana, puisi tersebut seolah dijadikan alat perekam setiap kejadian atas
perstiwa jatuhnya masa Orde Baru. Hal tersebut tercemin dalam setiap bait puisi
sebagai berikut : Bunga-bunga bulan Mei/ Bermekaran semarak warna/ di halaman
Rumah Rakyat/ Bendera-bendera berkibar/ di tangan berkeringat/ karisma yang
bangkit/ dari liang luka dan sakit/ Jakarta bersaksilah/ wajah-wajah anak
jaman/ berbinaran semarak rasa/ di halaman Rumah Rakyat/ suara-suara penuhi
udara/ di jantung ada warna merah kesumba/ karisma jadi balada/ dalam angin
pembaharuan/ Jakarta bersaksilah. (Republika, edisi
21 Juni 1998). Sehingga Karya Diah Hadaning banyak memiliki pemaknaan
ungkapan sebagai bentuk sebuah penciptaan dari replika kehidupan yang nyata.
Dalam memperoleh makna dalam sebuah
karya sastra disamping ditentukan oleh bahasa yang digunakan juga tidak
terlepas dari kovensi-kovensi sastra. Dalam hal ini sebagai sistem tanda karya
sastra mempunyai kovensi-kovensi sendiri. Contohnya, puisi sebagai sistem tanda
mempunyai satuan-satuan tanda atau simbolik berupa kosa kata, bahasa kiasan,
sarana rektorika, dan gaya bahasa pada umumnya. Selain itu juga memiliki
kovensi ambiguitas, kontradiksi, maupun tipografi (bdk.Pradopo,dalam Wiyatmi, 1994:94).
Puisi Jakarta Bersaksilah merupakan
salah satu puisi yang ditulis sekitar tahun 1980-an, dalam situasi kehidupan
masyarakat yang penuh permasalahan. Puisi Jakarta Bersaksilah dianggap puisi
yang mengandung pemaknaan yang begitu dalam tentang penderitaan masyarakat pada
saat terjadi Orde Baru. Dapat dilihat dari pemilihan judul puisi itu sendiri
yaitu “Jakarta” yang secara semiotik berarti penanda atau subjek yang sedang
mengalami penderitaan. Sedangkan “Bersaksilah” yang berarti petanda atau lirihan
suara dari masyarakat yang menginginkan perubahan.
Dilihat dari citraannya, puisi karya
Diah Hadaning lebih banyak mengutamakan citraan perasaan dan pengelihatan,
seperti pada bait : Bunga-bunga bulan Mei/ Bermekaran
semarak warna/ di halaman Rumah Rakyat/ Bendera-bendera berkibar/ di tangan
berkeringat/ karisma yang bangkit/ dari liang luka dan sakit/ Jakarta
bersaksilah/ wajah-wajah anak jaman/. Sehingga secara keseluruhan
menggambarkan akan kesedihan seseorang yang merasa bentuk pemerintahan yang
berjalan tidak lagi sesuai dengan yang diharapkan.
Adapun nada dan suasana yang
tersirat dalam puisi Jakarta Bersaksilah adalah lirihan atau sedih dan
menderita. Selain itu, yang perlu diketahui adalah unsur lapis makna. Pada
puisi Tembang Nelayan penyair menggambarkan tentang suara penderitaan masyarakat
karena nasibnya yang tidak kunjung berubah dikarenakan pemerintah tidak lagi
mementingkan kepentingan rakyat. Kemudian, Penyair menggambarkan harapan datangnya
angin pembahatuan.
Dari bait-bait puisi di atas, tergambar tentang
ciri khas puisi yang dibuat berkisar tahun 1998 sampai dengan tahun 2000. Puisi
seperti ini secara estetis mampu menggambarkan citra puisi-puisi tersebut,
disamping menjadi gambaran tentang puisi indonesia pada umumnya. (Priyo
Prabowo,2009:106)
Puisi dengan bentuk ekspresi sederhana
masih menjadi pilihan penyair dalam menuangkan segala ekspresi sebagai sarana
kepuitisannya. Walaupun jumlah puisi
bergaya seperti ini jumlahnya tidak sebanyak puisi yang bergaya mantra dan imajisme
atau mengutamakan unsur gerak. Mantra
adalah jenis puisi yang paling tua dalam sastra. Mantra diciptakan dalam
kepercayaan animisme dan dinamisme untuk dibacakan dalam acara berburu,
menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan untuk membujuk hantu-hantu yang baik
dan menolak hantu yang jahat (Djamaris, dalam Setyawati.dkk, dalam Suryaman,Maman
dan Wiyatmi, 2012:75).
Dalam memahami puisi Diah Hadaning
ini, kita seharusnya harus memahami berbagai informasi dan kepentingan yang
berhubungan hal-hal yang terjadi pada bulan Mei 1998, tepatnya awal kebangkitan
masa Orde Baru. Pada umumnya gaya bahasa yang digunakan akan membawa kita
termenung dan berpikir, berkontemplasi tentang makna kehidupan disertai dengan
adanya perluasan wawasan, pendalaman rasa keharuan, dan gejolak antara manusia
dengan kemanusiaannya. Disamping imajinasi untuk memahami puisi tersebut.
Dalam hubungan dengan karya sastra
Indonesia sebelumnya, lahirnya puisi karya Diah Hadaning sebagai bagian kecil
puisi yang bersifat baru dan tidak jauh berbeda dengan puisi-puisi karya
sastrawan sebelumnya, seperti Abdul Hadi WM (1966-an) atau Sutardji Calzoum
Bachri (1966-an), maupun sastrawan terkenal seperti Chairil Anwar (1940-an)
atau W.S Rendra (1970-an) yang kebanyakan bercerita akan masa Orde Baru dan
kritik kepada pemerintah.
Puisi karya Diah Hadaning umumnya menggunakaan
bahasa
yang lurus, tanpa harus meninggalkan ambiguitas, ciri yang umumnya ada pada
puisi modern. Puisi modern pada umumnya lebih menonjolkan masalah manusia
individual sebagai pusat perhatian, tanpa nilai teladan atau keagungan;
ketidakadaan unsur pendidikan atau manfaat atau etik yang langsung dapat diturunkan dari dunia sajak
modern (Suryaman,Maman dan Wiyatmi,2012:25).
Dengan memahami puisi Jakarta
Bersaksilah karya Diah Hadaning pembaca diajak untuk mengetahui sejarah yang
pernah terjadi pada Mei 1998 yang berdampak langsung terhadap pemerintahan saat
ini. Selain itu dengan membaca puisi ini pembaca dapat mengetahui akan
pemaknaan ungkapan sebagai sebuah penciptaan atau refleksi kenyataan hidup,
sehingga dapat menggambarkan berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan
masyarakat secara dinamis akan sebuah realita yang benar-benar terjadi..
Daftar Pustaka
Ester Indahyani Jusuf, dkk. 2005. Kerusuhan Mei 1998-Fakta, Data dan Analisa.Jakarta:
Kerjasama Solidaritas Nusa Bangda, APHI, dan TIFA.
Priyo
Prabowo, Dhanu. 2009. Puisi Indonesia di
Yogyakarta dalam Surat Kabar Priode 1981-2000. Yogyakarta: Balai Bahasa
Yogyakarta Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional.
Suryaman,Maman
dan Wiyatmi.2012.Puisi Indonesia.Yogyakarta:Penerbit
Ombak
Wiyatmi. 2006. Pengantar
Kajian Sastra. Yogyakarta : Pustaka
Republika,
edisi 21 Juni 1998. “Sajak-sajak Peduli Bangsa”. Dalam http://www.republika.co.id
diakses pada tanggal 28 November 2013 pukul 19.00 WIB.
Jakarta
Bersaksilah
Oleh Diah Hadaning
Bunga-bunga bulan Mei
Bermekaran semarak warna
di halaman Rumah Rakyat
Bendera-bendera berkibar
di tangan berkeringat
karisma yang bangkit
dari liang luka dan sakit
Jakarta bersaksilah
wajah-wajah anak jaman
berbinaran semarak rasa
di halaman Rumah Rakyat
suara-suara penuhi udara
di jantung ada warna merah kesumba
karisma jadi balada
dalam angin pembaharuan
Jakarta bersaksilah.
Bogor,Mei 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar