TRADISI RUWATAN JAWA
Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Apresiasi
Budaya
DosenPengampu:
Bapak Suwarno M.Pd
LOGO UNY
Disusun oleh :
Frans
Apriliadi 12201241006
KELAS A
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
Makalah ini ditulis dengan menyalin
sebagian besar dari buku tradisi ruwatan. Ruwetan sendiri merupakan sebuah
kebudayaan yang ada sebelum Islam masuk ke Jawa. Oleh karena itu masih banyak
hal yang berhubungan dengan kepercayaan yang ada pada waktu sebelumnya. Acara
ruwetan bukan hanya merupakan ruwetan
mala saja. Tetapi dalam masyarakat jawa masih banyak lagi yang lainnya.
Karena itu yang masih berjalan dan berubahnya kebudayaan dengan adanya
teknologi modern, maka keberadaan ritual ruwetan sedikit tergeser.
Pergeseran
yang dialami kebudayaan yang ada dalam masyarakat jawa sekarang ini, baik yang
berupa ritual maupun yang lain merupakan hal penting untuk diperhatikan. Jika
memang kebudayaan yang ada sesuai dengan kemajuan zaman. Mengapa tidak
dilakukan pelestarian sebagai bukti kekayaan masyarakat jawa?
Kejawen
selalu identik dengan hal-hal yang berbau mistis, spiritual, dan makhluk halus di dalamnya. Di dalam
ritual ruwetan terdapat beberapa tokoh gaib yaitu Bethera Kala, Bethera Wisnu,
dan beberapa tokoh pentng lain yang ada dalam mitos dan cerita tentang ritual
ruwetan. Manusia yang diruwet adalah manusia yang sudah pernah melakukan kesalahan
sehingga ia bisa saja menyebabkan sebuah kerusuhan di muka bum. Oleh karena itu
menurut sukerta, ia harus diruwet.
Ruwet
sendiri memiliki arti pelepasan, dab maksud dilakukannya ruwet adalah untuk
membebaskan atau melepaskan manusia yang tergolong sebagai sukerta. Karena
bersifat sebagai upacara pelepasan, maka upacara ini selalu berhubungan dengan
dunia mistis dan tidak pernah lepas dari pengaruh gaib di dalamnya. Dalam
kepercayaan orang jawa, orang yang sudah di ruwet akan dipercaya akan terlepas
dari segala sesuatu yang akan menimbulkan kesialan baginya.
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masyarakat Jawa memiliki kepercayaan yang kuat dengan dunia mistis
yang kemudian memunculkan mitos-mitos hingga saat ini masih dipercaya sebagai
kejadian yang pernah terjadi dan merupakan kenyataan. Karena kepercayaan ini ada
dan sudah hampir mendarah daging dengan masyarakat Jawa, maka setiap generasi
akan menurunkan kepercayaan-kepercayaan itu kegenerasi berikutnya.
Kepercayaan yang ada dalam
masyarakat Jawa ini memiliki keragaman yang banyak sekali, baik berbentuk ritual
atau upacara, maupun hal-hal lain yang bersifat spiritual.
Sedikit berbeda dengan masyarakat
Jawa saat ini, kepercayaan tentang mitos-mitos atau cerita mistis sudah banyak
dilupakan dan sebagian besar masyarakat Jawa memilih teknologi sebagai pilihan
yang lebih ilmiah. Saat ini cerita mitos lebih cenderung pada sentuhan
spiritual yang hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang masih
mempercayainya, yang tidak mempercayainya tidak akan memengaruhi dirinya sama
sekali.
Salah satu keyakinan masyarakat Jawa
yang cukup penting adalah Ruwatan. Ruwatan dapat dibagi dalam tiga jenis ritual
yang paling umum dan sering dilakukan dalam masyarakat Jawa yaitu :
1.
Ruwat diri
sendiri. Ruwatan dilakukan dengan tujuan menghindarkan diri dari kesialan yang
ada dalam dirinya. Ruwatan semacam ini biasanya dilakukan oleh sang
spiritualis.
2.
Ruwat untuk
orang lain. Di sini, sang spiritualis melakukan ruwatan pada orang lain.
3.
Ruwat untuk
umum. Ruwatan semacam ini dilakukan untuk meruat suatu wilayah, perkarangan dan
menghilangkan kekuatan unsur alam yang ada di dalamnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Ruwatan
Karena
di dalam masyarakat Jawa pengaruh kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat
mistis begitu kuat, maka pada zaman dahulu mereka sering menghubungkan suatu
kejadian dengan kejadian lain yang dianggap sebagai dampak suatu fenomena.
Kejadian diawali dengan kesalahan, dan kesalahan yang murni dilakukan oleh manusia ini menjadikan manusia akan
tertimpa dampaknya pada satu saat nanti, cepat atau lambat.
Masyarakat
Jawa pada satu abad yang lalu sebagian besar masyarakatnya memiliki kepercayaan
yang kuat terhadap keberadaan dunia mistis. Kepercayaan Jawa ini melahirkan
beberapa teori yang turun menurun dari generasi ke generasi, menjadi salah satu
kepercayaan warisan.
Jawa
yang merupakan salah satu suku terbesar di Indonesia yang memiliki
keanekaragaman budaya. Selain kebudayaan yang bersifat mistis (spiritual),
masyarakat jawa juga mengenal adanya kebudayaan arsitektur, seni musik, seni
tari dan masih banyak kebudayaan lain yang ada dan masih eksis di kalangan
masyarakat Jawa.
Kembali
pada masyarakat Jawa yang kental dengan kepercayaan mistis atau sering disebut
juga kepercayaan dalam dunia spiritual (rohani), masyarakat Jawa memiliki ragam
teori yang menjadi dasar dilakukannya sebuah ritual. Upacara atau ritual yang
dilakukan untuk menghindarkan diri dari dampak yang ditimbulkan akibat
kesalahan manusia, yang dalam masyarakat Jawa disebut Ruwatan.
Ruwatan
menjadi acara yang populer di masyarakat Jawa pada beberapa abad silam sebelum
Islam masuk ke Jawa dan sebelum Belanda menjelajah Indonesia. Keberadaan
ruwaran dipercara oleh beberapa ahli sejarah dan merupakan bawaan dari budaya
Hindu-Budha yang masuk ke Indonesia. Setelah Islam masuk ke Jawa, acara ruwatan
yang asli diubah sedikit bernapaskan Islami namun penampilan yang sebenarnya
tidak jauh berbeda dengan budaya sebelumnya yang sudah ada.
Perkembangan
Islam di tanah Jawa erat hubungannya dengan adanya ajaran para Walisanga
sehingga ruwatan adalah ajaran sinkretisme antara budaya Buddha, Hindu dan
Islam. Hingga saat ini, keberadaan acara ruwatan belum dapat ditentukan mana
yang asli yang merupakan kebudayaan Hindu-Budha dan mana yang merupakan gubahan
para Walisanga yang mengembangkan Islam.
Ruwatan
hingga saat ini dianggap sebagai solusi yang ampuh menurut kepercayaan
masyarakat Jawa. Daya mistis yang ditimbulkan dari ritual ini akan melindungi
dari kejahatan yang merusak atau mencelakakan diri manusia. Dalam ritual
ruwatan dikenal beberapa sosok antara lain :
1.
Bethara Kala
2.
Bethera Guru
3.
Bethari Durga
4.
Bethera Wisnu
5.
Sukarta.
B.
Tujuan
dilakukannya Ruwatan
Salah satu tujuan dilakukannya upacara ruwatan adalah :
1.
Untuk
menghindarkan diri dari ketidakberuntungan yang datang dari Sang Maha Kala.
Keberadaan Bethera Kala ini sebenarnya tidak selalu mutlak ada di saat
dilakukannya ruwatan, tetapi nama Bethera Kala sendiri sering disebutkan
sebagai simbol keberadaannya dalam hidup manusia.
2.
Bethera Kala
tidak harus ada dalam sebuah ritual ruwatan karena tidak semua ruwatan memiliki
tujuan untuk menghindarkan diri dari Bethera Kala, tetapi terkadang memiliki
tujuan untuk menghindarkan diri dari pengaruh jahat yang ditimbulkan oleh alam
atau makhluk halus.
3.
Kekuatan alam
bisa merupakan sebuah bencana, kadang menjadi sebuah kekuatan mana kala bencana
tersebut sudah memberi informasi bahwa ia akan datang pada waktu tertentu.
Ketakuatan semacam ini pun menjadi manusia, tidak hanya masyarakat Jawa, merasa
akan dekatnya dengan kematian. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, bencana dapat
dihindarkan dengan melakukan acara ruwatan. Jika saja bencana tetap datang,
kemungkinan akan menelan korban jiwa yang sedikit jika dibandingkan tidak
melakukan ruwatan.
C.
Masyarakat Jawa
dengan ruwatan
Masyarakat
Jawa yang senantiasa mengilhami dan mempercayai mitos-mitos tersebut kemudian
menjadikan acara ruwatan sebagai acara yang wajib dilakukan dan menjadi hal
yang bersifat sakral dalam menghubungkan diri manusia dengan Tuhan dan dunia
gaib. Namun, pelaksanaan ritual ruwatan yang ada dalam masyarakat Jawa sendiri
sudah sangat jarang dilakukan pada zaman sekarang ini. Banyak masyarakat Jawa
sekarang berpikir realistis,bukan bearti masyarakat Jawa pada zaman dahulu
tidak berpikir secara realistis. Banyak masyarakat Jawa pada zaman sekarang ini
telah meninggalkan adat-istiadat Jawa yang memang dianggap sebagai suatu hal
yang berat dilakukan atau terlalu rumit untuk dijalankan. Sebagai contoh banyak
masyarakat Jawa yang tidak lagi mengenal Aksara Hanacaraka yaitu huruf
atau aksara Jawa yang merupakan salah satu budaya yang tinggi nilainnya. Dari
beberapa kebudayaan yang ditinggalkan masyarakat Jawa, tak luput juga jenis
kebudayaan yang bersifat spiritual.
Para
pelaku ritual pun sebagian sudah ada yang mulai beranggapan dan merasa bahwa
acara ruwatan bukan merupakan hal yang logis sehingga hal ini ditinggalkan
sebagai bentuk kepercayaan, kebudayaan dan ritual. Tetapi bagi masyarakat Jawa
yang masih memiliki keyakinan tentang Bethera Kala, Bethera Guru, Bethera
Wisnu, dan
Bethari
Durga, sukerta maka pelaksanaan ruwatan, khusunya ruwat murwa kala
masih penting untuk dilakukan.
D.
Ritual Ruwatan
Dalam masyarakat Jawa, ritual ruwat dibedakan dalam tiga golongan
besar yaitu :
1.
Ritual ruwatan
untuk diri sendiri
2.
Ritual ruwatan
untuk lingkungan
3.
Ritual ruwatan
untuk wilayah
Dalam masyarakat Jawa, ruwatan memiliki ketergantungan terhadap
siapa yang melaksanakannya. Jika ruwatan
dilakukan oleh orang yang benar memang memiliki kemampuan ekonomi yang memadai,
maka biasanya dilakukan secara besar-besaran yaitu dengan mengadakan pegelaran
pewayangan. Pegelaran pewayangan ini berbeda dengan pegelaran pewayangan pada
umumnya dilakukan. Pegelaran pewayangan dilakukan pada siang hari khusus
dilakukan oleh dalang ruwat.
1.
Ruwatan diri
sendiri
Ruwat diri sendiri dilakukan dengan cara-cara tertentu seperti melakukan
puasa (ajaran sinkretisme), melakukan slametan,
melakukan tapa brata. Pada saat itu, ruwatan yang dilakukan oleh sebagian
masyarakat Jawa jauh berbeda dengan kebudayaan peninggalan pada zaman Hindu-Budha.
Ruwatan lebih cenderung dilakukan dengan tidak mengatasnamakan ruwatan, tetapi
pada dasarnya memiliki tujuan yan sama. Pelaku sebagai wujud atau bentuk dari
ruwatan, bagi diri sendiri ini juga sering dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa
agar mendapatkan kebersihan jiwa.
Ritual ruwatan diri sendiri menurut kitab Primbon Mantrawara III, mantra
Yuda jika orang yang merasa selalu sial, dalam kepercayaan Jawa harus melakukan
upacara ruwatan terhadap diri sendiri.
Pendeteksian yang dilakukan adalah melalui perhitungan patungan Jawa yaitu:
ha = 1, Na = 2, Ca = 3, Ra = 4 dan seterusnya. Pendeteksian dilakukan dengan
menjumlah neptu orang tuanya dengan orang yang akan melakukan ritual ini.
Jumlah keduanya kemudian dibagi 9 dan diambil sisanya, jika sisa:
1 bersemayam di sebelah
kiri – kanan mata kana
2 bersemayam di sebelah
kiri – kanan mata kiri
3 bersemayam di telinga
kanan
4 bersemayam di telinga
kiri
5 bersemayam di sebelah
hidung kanan
6 bersemayam di sebelah
hidung kiri
7 bersemayam di mulut
8 bersemayam di
sekeliling pusat
9 bersemayam di
kemaluan
2.
Ruwatan untuk
Lingkungan
Ruwatan yang dilakukan
untuk lingkup lingkungan biasanya dilakukan dengan sebutan mageri atau
memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi.
a. Memberikan daya
magis yang bersifat menahan, menolak, atau memindahkan daya (energi) negatif yang berada dalam rumah/hendak masuk ke dalam rumah
b. Memberikan
pagar agar tidak dimasuki oleh orang yang hendak berniat jahat
c. Memberikan kekuatan gaib yang bersifat mengusir atau mengurung
makhluk halus yang berada dalam lingkup agar gaib
d. Berbagai
cara memberikan pagar gaib ini dapat dilihat pada buku-buku kuno yang
menceritakan pemagaran diri manusia
e. Pemagar gaib yang sering ditemui dalam masyarakat Jawa sekitar
kita berbentuk menanam rajah, menanam tumbal.
3. Ruwatan Untuk Wilayah
Pada umumnya, pangruwatan murwakala dilakukan
dengan pagelaran pewayangan yang membawa cerita tentang murwakala dan dilakukan
oleh dalang khusus memiliki kemampuan dalam bidang ruwatan.
Pada
ritual pangruwatan, bocah sukerta dipotong rambutnya dan menurut kepercayaan
masyarakat Jawa, kesialan dan kemalangan sudah menjadi tanggungan dari dalang
karena anak sukerta sudah menjad anak dalang. Dan karena pagelaran wayang
merupakan acara yang dianggap sakral dan memerlukan biaya yang banyak, maka
pelaksanaan ruwatan pada zaman sekarang ini dengan pagelaran wayang dilakukan
dalam lingkungan pedesaan dan pedusunan.
Proses
ruwatan seperti yang diterangkan ini bisa ditunjukkan untuk seseorang yang akan
diruwat. Namun, pelaksanaannya pada siang hari. Sedangkan untuk meruwat lingkup
lingkungan, biasanya dilakukan pada malam hari. Perbedaan pemilihan waktu
pelaksanaan pagelaran ditentukan melalui perhitungan hari dan pasaran.
Urutan-urutan ruwatan
sebagai berikut:
a. Dimulai dengan doa pembuka
b. Diteruskan dengan pembacaan cerita riwayat sang Hyangkala, yang
disampaikan dengan bahasa Jawa dan mirip dengan nyanyian
c. Diteruskan dengan membaca pakem suntheg, pakem ini dimulai
dilagukan
“Hung Ilaheng pra yoganira sang syang
kamasalah tangerannya, kang daging sang kemala, kadi gerah suwarane, abra lir
mustika murud, amarab”
d. Setelah pakem suntheng selesai, dibacakan:
“Aneka akem prabawa, ketug lindhu lan
prahara, geter patertan pantaraalimaku tana suku, alembehan tanpa tangan,
aninyali tanpa netra”
e. Diteruskan dengan pasang tabeik dan membaca kidung sastra
pinandhati:
Yanyangsiyu yusinyangya, yanyangasiyu
yusinyangya, yajasiyu yusijaya, yadangsiyu yusidangya, yawangsiyu yusiwangya,
yasangsiyu, yakangsiyu yusikangya, arangsiyu yusirangya, yacangsiyu,
yusicangya, yanangsiyu yusirangya, yacangsiyu yusicangya, yanangsiyu
yusinangya, yakangsiyu yusihangya, yahangsiyu yusihangya.
f. Diteruskan dengan membaca
“sastra banyak dalang” lagu kentrung:
“Sang raja kumitir-kitir, ing ngendi
anggonira linggih, den barung ran keli, mangore lunga ngidul, anelasar sruwa
sepi, sumun dukuh ulung kembang, bale anyar ginelaran isi kang sumur bandung,
toyane ludira muncar, timbane kepala tugel, taline ususe maling, winarna
winantu aji, asri dinulu tingkahe kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara
wigena, sampurnaning banyak dalang”
g.
Diteruskan dengan membaca sastra gumbalageru, gemi atau api
yang datang dari berbagai penjuru angin yaitu timur, selatan, barat dan utara
disatukan dan ditolak kekuatan negatifnya dan diubah menjadi sesuatu yang
bermanfaat dengan melakukan pembacaan.
h. Diteruskan dengan kidung sastra Puji Bayu:
“Sang Hyang sekti naga nila wara, dadaku
sang naga peksa telaleku pembebet jagad, asabung kulinting limah, abebed
kuliting singa, acawet angga genitri. Liyanan catur wisa, rinejegan rejeg wesi,
pinayungan kala akra, kinemiting panca resi, sinongsongan ash-asih premanaku
ing sulasih”
i. Diteruskan dengan kidung sastra mandalagiri:
Sang Hyang Tangkep bapak kasa, kaliyan
Ibu pertiwi, mijil yogyanira sang Hyang Kamasalah, tengerannya kadi daging,
swarane kadi gerah, abra lir mustikamurub, urube marab arab, anakaken prabawa,
ketuk lindhu lan prahara, geter pater tan pantara, kagyat sang Hyang Amarta
arannya, wus ruwat pedhasamengko, yen ana gering kedadak, ngelu puyeng watuk,
kena wisa wutah-wutah, miring murup benceretan, kuu lumaku rinuwat iki, anata
senajata singwang, arane-mandalagiri, sang Hyang Amarta arannya wus ruwat padha
samengko.”
j. Diteruskan dengan sastra kakancingan:
“Kunci nira kunci putih, angruwata
metuwa sang, mentu samir lare kresna, kakrasa kama dindi, langkir tambir
pokoninjog, untuing-untuing matu tingting, tunggaking kayu aren, miwah temu
pamipisan, tumunem pega pagase, miwah kerubuhan lumbung dandang tanen, kudu
lumaku rinuwat, anata sanjataning wang, arane panji kumala, pinaputrak
akengunung arane, mandalagiri, sang Hyang ngamarta arannya, wus ruwat padha
samengko”
Pada proses ini
merupakan penguncian kekuatan gaib yang ditimbulkan dengan cara atau ritual
ruwat selesai menyanyikan kidung untuk ruwat murwakala, selanjutnya dibuatlh
rajah kalacaraka yang ditempelkan pada pintu-pintu rumah yang diruwat.
E. Yang Perlu dan Harus
di Ruwatan
Menurut
kepustakaan “Pakem Ruwatan Murwakala” Javanologi gabungan dari beberapa sumber,
antara lain dari serat Centhini (Sripaku Buwana V), bahwa orang yang harus
diruwat disebut anak atau orang “Sukerta” ada 60 macam penyebab, yaitu sebagai
berikut:
1. Ontang-anting, yaitu anak tunggal laki-laki
atau perempuan
2. Uger-uger lawang, yaitu dua orang anak yang
kedua-duanya laki-laki dengan catatan tidak anak yang meninggal
3. Sendang Kapit Pancuran, yaitu 3 orang anak yang
sulung dan yang bungsu laki-laki sedang anak yang kedua perempuan.
4. Pancuran kapit sendhang, yaitu 3 orang anak yang
sulung dan yang bungu perempuan sedang anak yang kedua laki-laki.
5. Anak bungkus, yaitu anak yang ketiga
lahirnya masih terbungkus oleh selaput pembungkus bayi (placenta)
6. Anak kembar, yaitu 2 orang kembar putra
atau kembar putri atau kembar “dampit” yaitu
seorang laki-laki dan seorang perempuan (yang lahir pada saat bersamaan)
7. Kembang sepasang, yaitu sepasang bunga yaitu
dua orang anak yang kedua-duanya perempuan.
8. Kendhana-kendhini, yaitu dua orang anak
sekandung terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.
9. Saramba, yaitu 4 orang anak yang
semuanya laki-laki
10. Srimpi, yaitu 4 orang anak yang
semuanya perempuan.
11. Mancalaputra atau pandawa, yaitu 5 orang anak yang
semuanya laki-laki
12. Mancalaputri, yaitu 5 orang anak semuanya
perempuan
13. Pipilan, yaitu 5 orang anak yang
terdiri dari 4 orang anak perempua dan 1 orang anak laki-laki.
14. Padangan, yaitu 5 orang anak yang
terdiri dari 4 orang anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan
15. Julung pujud, yaitu anak yang lahir saat
matahari terbenam
16. Julung wangi, yaitu anak yang lahir
bersamaan dengan terbitnya matahari
17. Julung sungsang, yaitu anak yang lahir tepat
jam 12 siang
18. Tiba ungker, yaitu anak yang lahir,
kemudian meninggal
19. Jempina, yaitu anak yang baru berusia
7 bulan dalam kandungan sudah lahir.
20. Tiba sampir, yaitu anak yang lahir
berkalung usus
21. Margana, yaitu anak yang lahir dalam
perjalanan
22. Wahana, yaitu anak yang lahir di
halaman / pekarangan rumah
23. Siwah / salewah, yaitu anak yang dilahirkan
dengan memiliki kulit dua macam warna
Contoh yang di atas
yaitu jenis-jenis manusia yang telah dijanjikan oleh sang Hyang Betara Guru
kepada Batara Kala untuk menjadi santapan/ makanannya.
Menurut mereka yang
percaya, orang-orang yang tergolong dalam kriteria tersebut di atas dapat menghindarkan
diri dari malapetaka (menjadi makanan Betara Kala). Selain Sukerta, terdapat
juga “Ruwat Sengkala atau sang kala” yang artinya menjadi mangsa sangkala yaitu
jalan kehidupannya sudah terbelenggu serta penuh kesulitan.
F. Perkembangan Tradisi Ruwatan
Di masa sekarang,
disebabkan oleh pengaruh perkembangan penalaran masyarakat dan semakin mantap
keyakinannya terhadap agama-agama modern. Mengakibatkan penyelenggaraan upacara
ruwatan dianggap sesuatu yang tidak perlu lagi, mubadzir, pemborosan, tahayul,
dan sebagainya. Sebaliknya masih ada anggapan bahwa upacara ruwatan tetap
relevan, meskipun tergolong masyarakat elite yang sehari-harinya telah bergaya
hidup modern dan tinggal di kota-kota besar.
Munculnya tokoh-tokoh
dewa dalam pertunjukan wayang, termasuk dalam ruwatan, sering dianggap satu
ungkapan kemusrikan, maka upacara ruwatan dengan menggunakan wayang oleh
masyarakat Islam tertentu yang mengharamkan.
Perkembangan
informasi saat ini lambat laun menggeser sedikit banyak jenis-jenis kebudayaan
yang sudah dianggap tidak realistis. Islam dalam masyarakat Jawa berkembang
dengan sangat pesat pada masa Walisanga, setelah Indonesia merdeka dan
masyarakat modern.
Dalam
ajaran Islam terdapat ritual yang hampir sama dengan ruwatan. Ritual ini
dinamakan dengan Rukyah. Rukyah adalah upacara yang dilaksanakan dengan alasan
sebagai berikut :
a.
Seorang telah melakukan pelanggaran atau dalam dirinya terdapat kekuatan magis
yang seharusnya tidak ada.
b.
Membersihkan diri dari kekuatan ghaib yang berada di
dalam tubuh.
Rukyah
memang mirip dengan ruwatan, hanya saja dalam ajarah rukyah tidak ada
tokoh-tokoh seperti Bethara Kala, Bethara Guru, Bethera Wisnu dan sukerta . yang terlibat dalam ritual Ruyah adalah
orang yang di rukyah (dalam ruwatan disebut sukerta) dan orang yang merukyah.
Ritual
rukyah bukan merupakan ritual yang mudah untuk dikuasai oleh setiap orang,
tetapi dengan tikat kesucian, keimanan, dan kedekatan diri sang perukyah akan
menentukan hasil akhir dari ritual-ritual yang telah dilakukan sebelumnya.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Jadi Ruwatan pada
masyarakat Jawa adalah sebuah ritual yang digunakan untuk membersihkan diri
dari pebuatan buruk yang akan kita lakukan dan menjauhkan kesialan, maupun
membuang kesialan menurut masyarakat Jawa yang menganut tradisi ruwatan
tersebut.
Ruwatan merupakan
acara yang dilakukan dengan ritual khusus pada zaman dahulu oleh masyarakat
Jawa. Pada zaman sekarang, ruwatan sudah jarang dilakukan karena masyarakat
Jawa sebagian besar merasakan hal itu tidak diperlukan lagi. Pandangan modern
memang menjadikan kebudayaan tersingkir dari kehidupan masyarakat Jawa. Tidak
hanya ritual ruwatan saja yang mengalami pergeseran posisi dalam masyarakat
Jawa, tetapi masih banyak lagi yang tersingkir dari kehidupan masyarakat Jawa
sebagai sebuah kebudayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Soewirjo,
Budi Adi. 1990. Ruwatan di Daerah Surakarta. Surakarta: Balai Pustaka.
Dr.
Sarwosto. 1967. Pertunjukan Wayang Kulit Purwa. Semarang: gelombang Pasang
Pamungkas,
ragil. 2007. Tradisi Ruwatan. Yogyakarta: Balai Pustaka.
Soewirjo,
Budi Adi. 1995. Kepustakaan Wayang Purwa (Jawa). Yogyakarta: Pustaka Jaya.
Koentjaraningrat.
1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar