Selamat Datang Di blogku...Selamat Membaca Semoga Bermanfaat
Kupersembahkan Rangkaian Kata-Kata Indah Buat Ibu Saya Tercinta Dirumah, Wanita Yang Paling Saya Cinta Dan Paling Saya Bangga

Selasa, 06 Mei 2014

CERPEN PEMETIK AIR MATA-Lanjutan cerpen Pelajaran Mengarang (Agus Noor)


Pemetik Air Mata
Karya Agus Noor


Mereka hanya muncul malam hari. Peri-peri pemetik air mata. Selalu datang berombongan--kadang lebih dari dua puluh--seperti arak-arakan capung, menjinjing cawan mungil keemasan, yang melekuk dan mengulin bagian ujungnya. Ke dalam cawan mungil itulah mereka tampung air mata yang mereka petik. Cawan itu tidak lebih besar dari biji kenari, tetapi bisa menampung seluruh air mata kesedihan di dunia ini. Saat ada yang menangis malam-malam, peri-peri itu akan berkitaran mendekati, menunggu air mata itu menggelantung di pelupuk kemudian pelan-pelan memetiknya. Bila sebulir air mata bergulir jatuh, mereka akan buru-buru menadahkan cawan. Begitu tersentuh jari-jari mereka yang ajaib, setiap butir air mata akan menjilma menjadi kristal bening berkilauan.

Mereka tinggal di ceruk gua-gua purba. Kesanalah butir-butir air mata yang dipetik itu dibawa. Di selisir ulir batu alit, diantara galur batu kapur berselubung tirai marmer bening yang licin dan basah, di jelujur akar-akar kalsit yang bercabangan di langit-langit stalaktit, peri-peri itu membangun sarang. Bulir-bulir airmata itu ditata menjadi sarang mereka, serupa istana-istana kecil yang saling terhubung jembatan gantung yang juga terbuat dari untaian air mata. Di langit-langit gua itu pula butir-butir air mata itu dironce terjuntai menyeruapai jutaan lampu kristal yang berkilauan.

Seorang pencuri sarang walet menemukan tempat per-peri air mata itu tak sengaja. Setelah berhari-hari menyusup celah gua, ia merasakan kelembaban udara yang tak biasa, hawa yang membuat kuduknya meriap, dan menyadari dirinya telah tersesat dan tak akan lagi melihat dunia karena setiap kali berkeras mencari jalan keluar justru merasa makin mendekati kematian. Kesepian gua itu begitu hitam dan mengerikan. Bahkan, kelelawar, ular dan lintah pun seperti memilih menjauhinya. Sayup jeritan kelelawar dan gema kelepak ribuan walet seperti berada di dunia yang berbeda. Semua suara seperti lesap--bahkan ia tak mendengar suara napasnya sendiri--dan ia merasakan betapa udara tipis dan bau memualkan yang bukan berasal dari tumpukan kotoran kelelawar atau lumpur belerang membuatnya limbung dan berlahan-lahan seperti mulai mengapung.

Saat kesadarannya seperti terisap, lamat-lamat didengarnya tangisan yang begitu gaib, menggema dari palung gua. Sampai kemudian ia menyadari betapa tangisan itu berasal dari butir-butir kristal bening yang menempel dan beragantungan nyaris memenuhi seluruh langit-langit stalaktit dimana ribuan peri mungil nampak beterbangan lalu-lalang. Pada saat-saat tertentu butir-butir kristal air mata itu  memang memperdengarkan kembali kesedihan yang masih tersimpan di dalamnya. Tak ada yang bisa menghapus kesedihan bukan? Bahkan, ketika kesedihan itu menjelma kristal. Di lambung gua itu bergaung jutaan tangisan yang terdengar bagai simfoni kesedihan yang agung.

Ketika akhirnya, lelaki pencari sarang walet itu meninggalkan jazirah peri dan menemukan jalan pulang, ia membawa sekarung kristal air mata yang kemudian dijualnya eceran. Kristal-kristal air mata itulah yang kini banyak dijajakan di pinggiran dan perempatan jalan.

SANDRA tidak percaya cerita itu. Meski ia sering melihat para pengasong menjajakan kristal air mata itu. Sering mereka mengetuk-ngetuk kaca mobil setengah memaksa.

"Air mata, Bu? Murah...seribu tiga, Bu...seribu tiga..."

Dulu semasa kanak-kanak, setiap kali melihat mamanya diam-diam menangis, Sandra selalu berharap peri-peri pemetik air mata itu muncul. Mamanya memang sering menangis terisak malam-malam. Ia pun selalu menangis bila mamanya menangis. Tapi, Sandra berusaha menahan tangisnya karena mamanya pasti akan langsung membentak bila tahu ia menangis. "Jangan cengeng, anak setan!" Kadang terikan itu di sertai lemparan kaleng bir yang segera bergemerontangan di lantai yang penuh puntung dan debu rokok. Rumahnya memang selalu berantakan. Selalu ada pakaian dalam mamanya yang berceceran begitu saja di lantai. Tumpahan bir di meja, bercak-bercak sisa muntahan di pojokan, dan botol minuman yang menggelinding kemana-mana. Kasur yang selalu melorot sepreinya. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.

Suara mama selalu nyaris selalu membentak. Pernah sekali Sandra bertanya soal papanya, tetapi ia langsung disemprot mulut mamanya yang berbau alkohol, "Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa!" Meskipun begitu Sandra tahu kalau sesungguhnya perempuan itu menyanyanginya. Bila pulang setelah pergi berhari-hari--mamanya memang selalu pergi berhari-hari keluar kota entah kemana, kadang mendadak pergi terburu-buru begitu saja malam-malam setelah menerima  pager--selalu ada oleh-oleh menyenangkan untuk Sandra. Sering boneka. Tapi, Sandra lebih senang bila ia dioleh-olehi buku cerita.

Sering bila hari Minggu, mamanya juga mengajaknya jalan-jalan. Membelikannya baju, mengajaknya makan kentang goreng atau ayam goreng. Saat Sandra menikmati es krim, perempuan itu selalu menatap penuh cinta. Tanpa sadar ia akan bergumam, "Sandra, Sandra..." Sambil membersihkan mulut Sandra yang berlepotan.

Tapi, saat-saat paling menyenangkan bagi Sandra adalah saat Perempuan itu membacakannya cerita dari buku berbahasa Inggris dengan gambar-gambar berwarnanya. Kadang tanpa sadar di tengah-tengah cerita yang dibacakannya air mata mamanya menetes.

“Kenapa Mama menangis?”
“Tidak, Sandra…Mama tidak menangis.”
“Kenapa manusia bisa menangis, Mama?”
“Karena manusia diciptakan dari kesedihan.”
“Kenapa mesti ada kesedihan, Mama?”
“Diamlah. Jangan cerewet. Atau Mama hentikan bacanya!”

Lalu, Mama kembali membacakan cerita tentang peri-peri pemetik air mata.

Pada mulanya adalah sebutir air mata. Saat itu Tuhan begitu sedih dan kesepian hingga meneteskan sebutir air mata. Dari sebutir air mata sejernih putih telur itulah tercipta semesta, hamparan kabut, langit lakmus yang belum dihuni bintang-bintang, makhluk-makhluk gaib, pepohonan dan sungai-sungai madu. Kemudian, pada hari ketujuh, barulah terbit cahaya. Dari sebutir air mata itu pula muncul sepasang manusia pertama. Karena tahu manusia akan mengenal kesedihan, mak sebelum menciptakan maut, Tuhan lebih dulu menciptakan peri-peri pemetik buah kesedihan. Saat itu, memangtumbuh Pohon Kesedihan, yang buah-buah bening segarnya selalu bercucuran dari ranting-rantingnya. Setiap kali dating musim semi, peri-peri itulah yang selalu memetiki buah-buah kesedihan yang telah ranum, yang membuat manusia tergoda menikmatinya.

Saat manusia sedih karena harus pergi dari surga, peri-peri pemetik air mata turun menyertainya. Maka, sejak saat itu, bila ada manusi menangis malam-malam, pri-peri itu akan muncul dan memetiki air matanya yang bercucuran.

Setiap kali mendapati mamanya menangis. Sandra pun berharap peri-peri pemetik air mata itu muncul. Ia tahu peri-peri itu bisa menghapus kesedihan dari mata mamanya. Tapi, Sandra tak pernah melihat peri itu muncul, dan mamanya terus terisak menahan tangis, sembari kadang-kadang memeluk dan dengan lembut mencium Sandra yang pura-pura tertidur pulas. Setiap malam, Sandra memang selalu pura-pura bisa tertidur lelap, terutama bila ada laki-laki, entah siapa, dating ke rumahnya. Sandra tak pernah lupa ketika suatu malam mamanya pelan-pelan memindahkannya ke kolong ranjang dan mengira ia sudah tertidur, padahal ia bisa mendengar suara mamanya dan laki-laki itu diatas ranjang, juga suara dengus sebal mamanya ketika akhirnya laki-laki itu mendengkur keras sekali. Di kolong ranjang, Sandra terisak pelan, “ Mama…Mama…” Pipinya basah air mata.

Bahkan saat itu peri-peri pemetik air mata yang diharapkannya tak pernah muncul. Itulah sebabnya ia tak percaya.

TAPI, Bita, anak semata wayangnya, punya beberapa butir kristal air mata itu. Dia membelinya dari seorang pedagang mainan di sekolahnya. Cerita tentang pencari sarang wallet yang menemukan koloni peri itu pun didengarnya dari Bita. Kata anaknya yang berumur 10 tahun itu, cerita itu dia dengar langsung dari penjual Kristal air mata itu.

“Itu bohong, Sayang…”
“Kenapa penjual mesti bohong, Mama? Ini memang air mata beneran kok. Cobalah Mama dengerin, kadang-kadang ia mengeluarkan tangisan.” Lalu Bita berceloteh riang, kalau kawan-kawan sekolahnya juga banyak yang membeli butir-butir Kristal air mata itu untuk dikoleksi. “Semua anak laki-laki di sekolah sekarang nggak suka lagi adu jangkrik. Saat istirahat, mereka lebih suka mengadu Kristal-kristal air mata miliknya. Kristal air mata yang mengeluarkan tangisan paling panjang dan paling menyedihkan yang menang.”

Bita menyimpan koleksi kristal air matanya di kotak kecil, dan selalu menaruhnya disisi bantal tidurnya. Kadang Bita terbangun ketika didengarnya kristal-kristal air mata itu mengeluarkan tangisan. “Bita senang mendengarkan tangisan mereka yang merdu, Mama,” katanya. “Apa Mama juga suka menangis kalau malam.”

Tidak, tidak, tetapi Sandra tak mengucapkannya.
“Apakah kalau Bita menangis, peri-peri itu juga akan muncul, Mama?”
Sandra mencoba tersenyum.
“Sekarang tidurlah, “ Sandra berusaha menghentikan percakapan, kemudian dengan lembut menyelimuti dan mencium keningnya. Baru saja beranjak hendak keluar kamar, terdengar suara Bita, “Apa besok Papa jadi ngajak Bita jalan-jalan?”

Sandra tersenyum.”Nanti Mama tanyakan Papa, ya. Kamu kan tahu, Papa sibuk…”
Lalu ia mematikan lampu.

SUAMINYA tengah berbaring di ranjang ketika Sandra masuk. Senyumnya masih tetap memikat seperti saat kali pertama Sandra melihatnya ketika suatu malam ia menyanyi di sebuah kafe. Senyum yang membuatnya jatuh cinta. Ia bukannya tak berdaya oleh senyum itu. Namun, senyum itu sejak mula telah membuatnya percaya bahwa ia akan menemukan jalan hidup yang lebih baik. Sandra memang tak ingin nasibnya berakhir celaka seperti mamanya; digerogoti penyakit kelamin saat tua dan ditemukan mati tergorok di losmen murahan.

Tidak. Tidak. Sandra tidak mau seperti mamanya. Bahkan, Sandra tahu kalau mamanya tak pernah menginginkan ia menjadi seperti mamanya. Sandra selalu ingat, dulu, disaat mamanya begitu Nampak mencintainya, perempuan itu selalu mendekapnya erat-erat sembari sesekali berbisik terisak, “Berjanjilah pada Mama, kamu akan menjadi wanita baik-baik, Sandra.”
“Seperti Mama?”
“Tidak. Kamu jangan seperti Mama, Sandra. Jangan seperti Mama…”

Maka selepas lulus SMA, saat ia kemudian menjadi penyanyi kafe, ia selalu berusaha menjaga diri. Ia selalu menolak dengan halus setiap gelas minuman yang disodorkan kepadanya. Kadang, bila perlu, ia bersikap tegas kepada para tamu yang dengan berbagai cara mengajaknya kencan. Tapi tidak pada laki-laki ini, yang sudah begitu menghargainya sejak pertemuan pertama mereka. Maka, ketika laki-laki itu kemuadian dengan sopan menyatakan cintanya dan berharap ia mau jadi istrinya. Sandra pun merasa betapa hidupnya memang akan lebih baik dan beruntung ketimbang hidup mamanya.

Bagaimanapun, suaminya memang laki-laki penuh perhatian yang pernah dikenalnya. Setidaknya disbanding puluhan laki-laki yang hanya iseng terhadapnya.

Berbaring di ranjang, hanya dengan selimut dibawah pinggang, suaminya terlihat segar. Hmm, pasti habis mandi air hangat, batin Sandra. Itu berarti laki-laki itu memang menginginkannya mala mini. Sandra segera meredupkan lampu, membuka gaunnya, dan bersijengkat naik ke ranjang. Sandra ingin selalu membuat laki-laki itu betah bersamanya.
“Kamu menyenangkan sekali malam ini,” desah laki-laki itu sambil berbaring memeluk Sandra.
“Makanya kamu nginep saja malam ini. Biar besok sekalian ngajak Bita jalan-jalan.”

Ketika laki-laki itu hanya diam, Sandra tahu kalau ia telah meminta yang tak mungkin laki-laki itu penuhi. Selama ini mereka memang sepakat, Sandralah yang akan mengurus Bita. Mengantar jemput ke sekoilah. Menemani jalan-jalan atau pergi makan. Dan, Sandra akan selalu mengatakan “Papamu sibuk…,” setiap kali Bita bertanya kenapa Papa nggak pernah ikut?

Sandra tahu malam ini, laki-laki itu pun harus pergi. Sandra sudah terbiasa dengan pertemuan-pertemuan yang hanya sebentar seperti ini. Tapi, ketika selepas pukul 2.00 dini hari Sandra mendengar deru mobil laki-laki itu keluar dari rumahnya, ia benar-benar tak kuasa menahan air matanya. Dulu, saat seusia Bita, Sandra selalu pura-pura tertidur ketika ada laki-laki ke luar masuk rumahnya. Apakah Bita kini juga pura-pura tak mendengar suara mobil itu pergi?

Sandra ingin semua ini akan berjalan baik seterusnya. Ia berusaha serapi mungkin menyembunyikannya. Ia tidak ingin Bita sedih. Ia ingin Bita menikmati masa-masa sekolahnya dengan nyaman dan tak cemas menghadapi pelajaran mengarang. Sandra kembali merasakan saat-saat paling sedih masa kanak-kanaknya, saat ia tahu kalau ibunya pelacur. Sungguh, ia tidak ingin Bita tahu, kalau ibunya hanyalah perempuan simpanan.

Sandra merasa bantalnya basah. Ia berharap, sungguh-sungguh berharap, para peri pemetik air mata itu muncul mala mini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR ANDA DAN HARAP ISI BUKU TAMU DAN TINGGALKAN ALAMAT SITUS ANDA INSYAALLAH AKAN SAYA KUNJUNGI